Part after Prologue

81 6 19
                                        

"The Lousy and Confusing Start"

POV: Richard

"Aku, kamu, kita. Berada di tempat yang sama. Yang berhiaskan duka."

*️⃣

"Happy birthday, Richie."

Akhirnya setelah sekian lama merayakan ulang tahun dengan kue yang sama, aku mendapat kejutan hari ini. Kue itu berbentuk bulat dengan diameter kira- kira 20 cm dan berhiaskan beberapa buah macaroon di tengah. Tentu saja ada namaku juga. Perlu diingat bahwa pesta ini tidak ada kue cokelat balon warna- warni. Yang pertama karena urgent, yang kedua adanya kue red velvet, bukan cokelat meski rasanya mirip.

Aku mengambil piring kecil dan memotongnya. Sebelum kue, ibu sudah lebih dulu membuat BBQ kecil- kecilan di rumah dan tidak lupa memfotoku.

Rasa kue itu kalut dengan pikiranku. Pikiran gelapku. Alih- alih rasanya manis, rasanya menjadi eneg. Aku heran sebenarnya. Orangtuaku masih bisa merayakan ulang tahunku, padahal dua hari yang lalu mereka baru saja kehilangan salah satu anaknya. Aku mendekati ibu yang duduk berseberangan denganku dan sedang memakan kue red velvet.

"Bu," aku memeluknya, "kenapa?"

Aku melihat ia tertawa dan mengelus tanganku.

"Pertanyaanmu itu, konteksnya banyak, Richie," katanya.

"Bu, stop memanggilku dengan nama itu." Ia diam sejenak.

"Dengar. Aku tidak tahu mengapa ini harus terjadi. Aku tidak mau kamu sedih saat hari ulang tahunmu. You don't deserve it.  Ann sudah dapat bagian, kamu juga dapat. Aku tak ingin apa yang terjadi padaku terjadi juga padamu. Apalagi kamu harapan terakhirku, Rich---Richard. Kau harus selalu ingat apa yang sering kukatakan padamu. Yang lalu sudah berlalu, yang baru sudah datang. Kita harus bisa mengusahakan ini."

Nasihat ibu diakhiri dengan mengacak rambutku pelan. Tapi, aku masih tidak mendapat jawaban. Ibu hanya menjawab satu pertanyaanku. Ia belum menjawab pertanyaan dari konteks yang lain. Segala sesuatu masih terkesan abstrak di pikiranku.

Aku melangkah ke kulkas dan mengambil es batu. Setelah itu, aku meletakkan es batu itu di gelas dan menuangkan air putih. Cocok untuk menyegarkan kembali pikiranku yang sudah terpecah belah. Selanjutnya, aku kembali duduk dan menikmati red velvet potongan yang kedua.

Beberapa saat kemudian, kuteguhkan niatku untuk berdiri dari tempat duduk, kulangkahkan kakiku menuju dapur. Kuputar keran dan mulai mencuci. Air mulai membasahi tanganku yang penuh dengan krim. Tepat saat aku membilas, pundakku sedikit terdorong ke belakang.

"Ayah."

Aku menatap matanya yang terlihat sangat persis dengan kakakku. Bulat dengan bulu mata yang lentik. Kuarahkan pandanganku ke bawah. Ia terlihat membawa sebuah kotak yang kira- kira ukurannya sehasta dan dibungkus dengan kertas kado berwarna putih. Di atasnya bertuliskan "Have A Happiest Birthday, Bro. From A." Tulisannya ditulis dengan spidol warna merah.

Aku mengernyitkan dahi.

"Tadi, Ayah membereskan kamarnya. Dan Ayah menemukan ini. Ann tidak pernah lupa, Richie," kata ayah lirih.

Ia menyerahkan kado itu kepadaku.

"Tentu. Bagaimana denganmu?"

*

Aku menaiki tangga menuju lantai atas dan masuk melalui pintu yang terletak di sebelah kiri. Sebelum masuk aku melirik ke pintu putih di sebelah kananku. Mataku terpaku. Sebuah memori seolah- olah menyapaku. Ia berteriak.

Sound Of EvidencesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang