Chapter 1:
"Dawn when The Jingle Bell Rang"
Sub-chapter:
"Days After That Day"POV: Richard
*️⃣
"Aku duduk tepat di hadapanmu. Apa kau tidak melihat sesuatu?"
*️⃣
Bola sekarang berada tepat di tanganku. Aku melangkahkan kakiku mendekati ring. Napasku semakin tidak karuan, aku mendribble bola semakin cepat. Dan ... shoot! Aku berhasil memasukan bolanya. Kupalingkan badanku ke kanan dan terlihat kawanku yang rambutnya sudah licin dan menutupi matanya itu terengah- engah, namun ia masih berusaha untuk tertawa. Baju putihnya juga tampak aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia tidak melepas jas birunya.
"Angjay, Richard!"
"Yoi, Gan!" kataku seraya kami pergi dan duduk di pinggir dengan lengan mengarah ke belakang.
Saat aku duduk, rasanya sangat panas mengingat tidak ada pohon di lapangan ini. Dari sini tampak gedung putih keabu- abuan dengan atap yang menurut pandanganku bentuknya trapesium, berdiri tegak, menjulang setinggi 3 lantai. Di tengah- tengahnya berhiaskan tulisan warna merah nama sekolahku. Pemandangan ini membawa pikiranku berlayar. Ah, dia lagi."Chard, kapan sih kamu mau bilang ke Bram?" tanyanya membuyarkan pikiranku.
"Tanya ayah," jawabku singkat.
"Cih. Gitu aja terus sampai Pak Budi tumbuh rambut juga nggak bakalan, Chie!"
"Memangnya kamu pernah tanya?"
Danelle. Leonard Danelle. Indah ya namanya. Tapi tunggu, aku belum selesai. Leonard Danelle Wi—sudahlah.
Oh ya, kalian pasti mengira bahwa wajah side-kick ku ini tampan, bukan? Memang. Ada sedikit wajah dari ras kaukasian di situ, walau sebenarnya dia Jawa tulen. Hidungnya kecil dan mancung, alisnya tebal tapi sedikit 'keluar jalur' di ujungnya. Kadang dia suka memakai bandana warna biru kalau di luar sekolah dan berdasarkan testimoni adik kelas, ketampanannya bertambah. Apakah kalian berminat? Silahkan ambil saja. Tapi, tunggu, kuharap setelah kisah ini berlanjut, kalian tidak berubah pikiran.
"Kalau mainnya sama orang kayak aku terus, kapan kamu mau maju?"Danelle mengubah nada bicaranya. Sekarang terdengar pelan, rendah, didukung dengan ia menundukkan kepalanya.
"Maju, tuh. Nyatanya gara- gara kamu, aku bisa 3 point."
"Duh, bukan itu maksudku. Aku kan gak fokus di satu bidang. Dan aku rasa bakatmu itu harus dikasih tempat. Bukanne kuwi sing mbok gelem, lur?" Kali ini, dia menatapku serius.
"Ya kalau Tuhan nggak berkehendak gimana lagi?" Akupun menjawabnya dengan serius.
"Danelle kemudian menghela napas sejenak dan memalingkan pandangannya ke pohon beringin yang terletak di belakangku. Kemudian ia menepuk bahuku dan mengajakku pergi membeli teh di 'Tante Makasih.' Konter teh itu terlihat dilingkari anak- anak yang mengenakan kaos senada, kebanyakan berwarna merah, serta celana olahraga hitam. Anak- anak Marching Band. Aku maju ke depan saat beberapa anak di depanku itu telah meninggalkan konter dan pergi ke lapangan voli di depan aula, sebelah kanan tempat aku duduk tadi. Kuutarakan pesananku: satu vanilla tea hangat. Tidak ada yang bisa mengalahkan kehangatan vanilla tea. Ingat. Kehangatan. Bagiku rasa vanillanya akan memudar jika diberi es.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sound Of Evidences
Teen Fiction"Believe what you see, trust what you hear." Richard Mahendra baru saja pulang ke rumah dan mendapati kakaknya tergantung di kamar tepat dua hari sebelum ulang tahunnya. Sebuah hadiah dari mendiang kakak perempuannya membawa rasa penasaran Richard m...