Hari Jumat di Elisabeth rasanya tidak seru jika tidak ada para pemain basket. Aku berjalan melewati kerumunan pemain basket itu. Kulihat salah satu laki- laki yang bermain di sana, dengan baju biru muda terbuka menatap ke arahku lalu menyunggingkan senyum. Aku lebih memilih untuk membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum tipis. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan.
Sedetik sebelum aku membuka pintu di tempat tujuanku, gadis itu tiba di sana.
"Oh, halo. Ada apa?"
Gadis itu merogoh sesuatu dari kantongnya.
"Aku mau kirim rekaman. Bisakah kau mengunggahnya hari ini juga?"
Aku mengernyitkan dahi.
"Aku tahu, itu masih minggu depan. Tapi, aku perlu sekarang."
Apa yang dipikirkan orang ini?
"Ayolah ... Kau temanku dan ketua ekskul itu juga temanku. Siapa yang akan memarahimu?"
Gadis itu terus memaksaku. Ia memberikan tatapan puppy eye. Jujur, aku tak tahan dengan tatapan ini. Kalau kalian punya saran untuk menghadapi orang seperti ini, aku akan sangat menerimanya.
"Baiklah, jika aku tidak mau?"
"Tentu saja aku masih bisa tahu!" Ia berkacak pinggang dan memutar matanya. Rambut cokelatnya sekarang menjadi sedikit berantakan.
Aku menghela napas berat. Hingga tanganku tak tahan untuk menerima flashdisk dari tangannya. Kulihat gadis itu menyodorkan senyum tipis dan berjalan dengan langkah mengikuti irama ketukan ¼ menuju ke luar Elisabeth.
*

KAMU SEDANG MEMBACA
Sound Of Evidences
Novela Juvenil"Believe what you see, trust what you hear." Richard Mahendra baru saja pulang ke rumah dan mendapati kakaknya tergantung di kamar tepat dua hari sebelum ulang tahunnya. Sebuah hadiah dari mendiang kakak perempuannya membawa rasa penasaran Richard m...