Penyelamat misterius.

1K 99 10
                                    

Pada dasarnya, Amegakure memang selalu dilingkupi awan mendung dan hujan. Hanya pada hari itu volumenya sedikit berbeda, rintik-rintik air lebih padat membasahi kota.

Di sudut kumuh yang gelap dan tak beraroma sedap, seorang anak laki-laki tampak meringkuk dengan tubuh menggigil. Berlindung di balik tong sampah besar, mencoba mengelabuhi orang-orang bertato yang mengumpat kasar ketika melewati tempat itu. Mencarinya, namun tak berhasil.

Saat langkah-langkah tergesa mulai tak terdengar, anak lelaki itu kembali berdiri. Belum merasa aman sepenuhnya, hingga ia kembali memacu langkah, keluar dari persembunyian sementara. Meski ia harus menembus hujan dengan keadaan setengah telanjang dan tanpa alas kaki.

Tubuhnya bergetar. Bukan hanya merasa kedinginan, namun juga karena ketakutan yang luar biasa. Bayang senyum keji ibunya saat akan menjualnya pada pria berwajah aneh—tak ingin pudar dalam ingatan.

Menjadi suatu alasan untuk tak pulang kembali ke rumah. Ke tempat yang sebenarnya tak pernah layak untuk disebut 'rumah'.

Namun usaha melarikan diri tak pernah sejalan dengan harapan. Kemalangan selalu bersanding dengannya. Tubuh ringkih terpental ke tanah setelah anak itu menabrak sesuatu yang keras.

Layaknya mimpi buruk yang menjadi nyata, dua orang lelaki bertato itu kembali. Menyambutnya dengan senyum serupa lonceng kematian.

Sepasang mata anak itu terbeliak. Bergerak mundur meski tak memungkinkan untuk kembali lari karena dinding yang berada di belakang tubuhnya.

"Anak kurang ajar! Menyusahkan saja!"

"T-tidak...to..long..jangan!"

Kedua lengannya ditarik dengan paksa. Anak itu menggeleng keras, mencoba berontak dan ia mendapatkan dua tamparan keras di pipinya.

Ia merintih. Menangis. Setitik darah timbul di sudut bibir yang mulai berubah warna.

"...to..long..."

"DIAM SIAL—"

BRUK!

Kedua tangan yang menarik paksa terlepas, meninggalkan perih dan luka gores yang menjadi lebam.

Dua tubuh kekar tergeletak di tanah tanpa menunjukkan tanda-tanda akan bergerak. Anak itu ikut ambruk, terduduk dengan mata terbelalak menatap cairan merah pekat yang bercampur dengan hujan.

Tak.

Tak.

Meski hujan begitu deras, langkah dari sepatu hak tinggi di hadapannya terdengar begitu nyaring.

Lehernya kaku. Tak sanggup untuk sekadar menengok sosok misterius yang semakin mendekat.

Ingin berteriak, namun tenggorokannya seolah tercekat. Memaksa ia mematung sampai sosok itu berlutut di hadapannya. Menampilkan manik serupa bulan purnama dari balik payung hitam.

Lembut, namun...begitu dingin.

"Kau baik-baik saja?"

Suaranya merdu. Bibir tipis berlapis gincu sewarna mawar tampak kontras dengan kulit putih pucatnya.

Namun mendadak semua buram. Telinganya berdengung. Dunia seakan berputar dan ia merasakan kantuk yang luar biasa.






.

.

.



"Siapa anak itu?"

Toneri tergesa menuruni tangga. Menghampiri seorang perempuan muda yang duduk di dekat jendela dengan teh yang masih mengepul.

Ada dua pelayan perempuan yang sedang mengikat tirai-tirai putih di sisi jendela. Sisanya tampak hilir mudik mengganti vas bunga di sudut ruangan.

CHAINS [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang