1

337 47 0
                                    

Aroma khas kopi menguar ke seluruh penjuru ruangan. Terdengar suara bahwa mesin kopi telah usai menyelesaikan tugasnya. Wonwoo melangkahkan kakinya, kemudian meraih mug berisi kopi hitam kesukaannya. Menyesapnya dalam-dalam.

Pahit. Dan akan selalu pahit. Anehnya, Wonwoo menyukainya. Mungkin karena rasa dari kopi hitam yang selalu ia minum berbanding lurus dengan kondisinya saat ini.

Waktu baru saja menunjukkan pukul 5 pagi. Selalu seperti itu, Wonwoo akan baru dapat tertidur pukul 2 dan terbangun pukul 5. Pukul 5 ia akan bangun, kemudian termenung seraya mengamati lanskap kota Manhattan yang sudah mulai ramai.

Tok Tok

Ketukan yang berasal dari orang yang sama. Di jam yang sama. Berlangsung sejak kali pertama Wonwoo menginjakkan kakinya di kondomonium ini. Wonwoo membalas dari dalam, sedikit berteriak.

"Sebentar!" Kemudian, dengan langkah yang hampir terkesan buru-buru, membuka pintu. Menampakkan wajah sumringah Ha Neul disana.

"Sarapannya, Pak Jeon." Kalimatnya sama. Tidak pernah berubah. Dan Wonwoo sudah terbiasa.

"Bagelan, lagi? Bukankah kemarin juga bagelan?"

Omong-omong, Ha Neul dan Wonwoo memang menempati gedung kondomonium yang sama. Singkat cerita, ini adalah balasan Wonwoo dan permintaan maafnya pada Ha Neul. Karena dirinya yang terlalu tergesa dengan kepindahannya ke Manhattan, Ha Neul jadi belum sempat menemui ibunya. Sehingga, di dalam pesawat yang membawa mereka menuju Manhattan, Ha Neul meracaukan kalimat permohonan maaf pada sang ibu. Berkali-kali. Membuat hati Wonwoo sedikit tergerak oleh belas kasihan.

Hal itu berujung pada Wonwoo yang menyewakan sebuah kondomonium bagi Ha Neul. Kebetulannya, terletak dekat dengan Wonwoo. Bahkan berada di gedung yang sama. Sebagai imbalannya, Wonwoo ingin dibuatkan sarapan setiap pagi.

"Hanya itu yang tersisa. Atau anda ingin makan diluar, saja?"

Wonwoo menggeleng. "Tidak usah. Terimakasih. Jangan terlambat datang ke kantor, nanti. Saya tidak ingin ditumpangi lagi." Setelahnya, Wonwoo membanting pintu begitu saja tepat di hadapan wajah Ha Neul. Membuat perempuan itu mengumpati si sulung Jeon dalam diam.

***

Sekeras apapun Wonwoo menolak, akhirnya akan tetap sama. Ha Neul lagi-lagi berangkat bersamanya. Padahal sudah sangat jelas Wonwoo menolak. Namun, Ha Neul memohon, dengan dalih ia tidak dapat menemukan heels miliknya. Wonwoo yang tadi mendengar alasan konyol itu hanya mampu mengiyakan permintaan sekretarisnya. Ia pikir, jika Ha Neul sampai telat, bukankah dirinya juga yang akan dirugikan? Anggap saja hubungan komensalisme.

Saat ini, Wonwoo, seperti biasa selangkah lebih depan dari Ha Neul. Sedangkan, Ha Neul akan mengekorinya dari belakang. Sapaan dari para bawahan pria itu juga bersahutan sejak dirinya menginjakkan kaki. Wonwoo sudah mulai terbiasa dengan sapaan dalam bahasa inggris. Tidak seperti orang-orang di Seoul yang terdengar kaku, bawahannya di Manhattan justru menyapanya dengan hangat. Bila sedang membawa kopi, seringkali mereka menawari Wonwoo.

Interior ruangannya di Manhattan juga terkesan berbeda. Di Seoul, ruangannya terkesan monoton. Tidak menarik. Sedangkan di Manhattan, entahlah, lebih hidup? Mungkin?

Perusahaannya di Manhattan sangat stabil. Jarang Wonwoo menemukan adanya permasalahan internal. Berbeda dengan kantor pusat di Seoul, yang dapat membuat Wonwoo sakit kepala. Paling tidak, masalah internal yang Wonwoo hadapi disini bersifat minor.

Baru saja Wonwoo menempatkan dirinya, suara ketukan sudah terdengar dari luar ruangannya. Tanpa menunggu izin dari Wonwoo, pintu sudah terbuka. Membuat Wonwoo dapat langsung menebak siapa yang masuk ke dalam ruangannya.

attune ; jwwTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang