2

285 42 6
                                    

"Sudah mencatat poin pentingnya?" Tanya Wonwoo pada Ha Neul seraya merapikan dasinya yang terlihat kusut setelah rapat tadi.

"Sudah, pak. Seperti biasa, bapak ingin soft atau hard copy?"

Wonwoo berpikir sejenak. "Soft copy."

"Baik, pak." Ha Neul segera menuju ke mejanya, yang berada diluar ruangan Wonwoo. Sedangkan Wonwoo, segera masuk ke dalam ruangannya.

Wonwoo membuka ponsel miliknya. Memeriksa surel miliknya, kemudian menyimpan file yang dikirimkan Ha Neul. Lalu, membuka pesan yang diterimanya beberapa waktu lalu. Pesan itu berasal dari informan yang ia sewa untuk mengawasi Hae Rin. Katakanlah, Wonwoo mengerikan. Atau penguntit. Terserah. Namun, kalian tidak akan mengerti bila tidak merasakannya sendiri.

Wonwoo masih hapal dengan jelas nomor ponsel Hae Rin. Akan tetapi, menghubungi perempuan itu sedikit terkesan tidak tahu diri, 'kan? Jeon Wonwoo tidak membenarkan aksinya yang menyewa seseorang untuk mengamati perempuan itu diam-diam. Hanya saja, opsi itulah yang menurutnya paling aman saat ini.

Dan mengenai skandal kencan perempuan itu dengan lawan mainnya, Wonwoo tahu itu bukan hanya rumor. Keduanya kerap kali melakukan banyak hal bersama. Wonwoo mengetahui hal itu dari informannya. Sebenarnya, mengetahui mengenai kebenaran dari skandal Hae Rin sangat menyakiti Wonwoo. Namun, bukankah inti dari mencintai adalah dengan merelakan?

Disela-sela lamunan Wonwoo, suara Ha Neul memasuki indra pendengarannya.

"Pak, sudah jam pulang. Bapak tidak pulang?" Tanya Ha Neul, membuat Wonwoo menoleh.

"Kamu boleh pulang duluan, Ha Neul."

"Pasti anda akan pergi ke bar lagi, ya?" Cukup lama menjadi sekretaris Wonwoo, membuat Ha Neul sudah cukup hafal akan kebiasaan buruk Wonwoo akhir-akhir ini.

"Jangan terlalu sering, pak. Itu kebiasaa—"

"Perlu saya ingatkan untuk jangan mencampuri urusan saya, Ha Neul? Pulanglah. Urusi urusan mu sendiri. Tinggal di gedung yang sama, bukan berarti saya dan kamu dekat." Ujar Wonwoo dingin. Lalu, kembali membelakangi Ha Neul.

"Baik, maaf bila saya terkesan lancang." Ha Neul membungkukkan dirinya, sebelum berlalu dan pergi dari ruangan Wonwoo.

Wonwoo menatap kepergian Ha Neul sesaat, kemudian kembali menatap lanskap kota Manhattan di malam hari melalui jendela kaca. Meraih ponselnya untuk menghubungi Seungcheol. Tidak lama, panggilannya diangkat.

"Bar mana lagi?"

"Kau sangat mengenalku, hyung. George Washington Bar. Kita bertemu disana saja, hyung."

"Tidak bersama saja?"

"Lalu, aku meninggalkan kendaraanku lagi? Tidak, terimakasih. Yasudah, kututup dulu."

"Hm."

Wonwoo memutus panggilannya sepihak. Pandangannya lagi-lagi tertuju pada apa yang terpampang diluar jendela kaca. Ia sangat merindukan ibunya. Dan jika ingin jujur, sedikit merindukan sang ayah. Tetapi, apa boleh buat bila mengingat surat adopsi itu membuat Wonwoo kembali merasakan sakit?

Wonwoo menepis jauh-jauh pikirannya. Ia meraih kunci mobil miliknya ketika pesan dari Seungcheol terpampang pada layar ponselnya. Menyatakan bahwa pria itu sudah dalam perjalanan menuju bar yang Wonwoo beritahu tadi.

***

Sesampainya disana, pandangan Wonwoo langsung tertuju pada Seungcheol yang sudah memesan minuman pada bartender. Tak lama, ia bergabung dengan pria itu. Memesan minuman yang sama, meski bar yang ia datangi berbeda.

attune ; jwwTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang