Surat Undangan

7 0 0
                                    

Hari sabtu, ialah hari dimana semua orang menyambut awal libur dalam sepekan. Namun aku memilih untuk tetap membuka kedai hari ini.
Aku melirik dinding sebelah kanan. Jam menunjuk Pukul tujuh pagi, masih ada satu jam untuk persiapan membuka kedai.

  "Kakak! Apa kau sudah bangun?" Seseorang mengetuk pintu kamar dari luar.
  "Iya, aku sudah bangun! Ada apa?"
  "Seseorang menitipkan surat untukmu!"

Surat? Sepagi ini? Ayolah. Setelah sepekan aku menjalankan banyak hal kali ini datang lagi hal lain yang memuakkan. Dengan tubuh yang terasa berat aku menegakkannya dari kasur dan beringsut ke depan daun pintu. "Baiklah..." pintu sudah terbuka. Terlihat seorang gadis yang berdiri didepanku memberi sebuah surat yang dikemas rapi dalam amplok putih. Gadis itu adalah adik perempuanku, namanya Shina. Usianya tiga tahun lebih muda dariku.

  "Apa kau akan menerima tawaran surat itu, kak?" Shina menyelidik. Setelah aku menerima dan membaca isi surat ditanganku.
Setelah membaca beberapa kalimat dan mencerna maksud-maksud surat tersebut, sudah bisa dipastikan ini adalah surat dari organisasi rahasia milik pemerintah negara.

Aku mengangguk, "aku akan pergi menemui orang yang menulis surat ini. Dan beritahu Gabi dan Lanang untuk tetap membuka kedainya!"

"Aku, bagaimana?" Shina memelas.

"Kau tetap disini membantu mereka!"

  "Tapi..."

  "Shina, aku memerlukan orang terpercaya untuk menjaga tempat ini dan kaulah orangnya. Jika sesuatu terjadi kau tahu kan langkah apa yang  harus diambil?" Aku memotong. Memegang kepala gadis itu.

Dengan wajah cemberut ia mengangguk samar. Dalam hitungan detik ia beringsut meninggalkanku sendiri di depan kamar.
Begitu pula denganku, bergegas mandi dan mengenakan pakaian formal, bersepatu hitam, memasukan ponsel kedalam saku jas.

Dalam hitungan menit kakiku sudah melangkah mantap di trotoar, melewati kerumuhan orang di jalanan kota. Sesekali menyapa satu-dua orang yang tengah berolahraga ringan di taman kota bersama anjing peliharaannya.
Sudah lima belas menit aku melewati beberapa kumpulan orang, hingga berdiri di sebuah toko kain. Menunggu sebuah kuda beroda menjemput.

  "Sudah lama menunggu?" Seseorang dengan aksen kental menyapa dari samping kanan.
Aku menggeleng, "baru lima menit."

  "Baiklah. Mari kita bergegas menemui majikan saya!" Orang berpakaian sama denganku itu melangkah lebih dulu mencari kuda berodanya. Aku mengikuti dari belakang dengan jarak satu langkah.
Kami membuka pintu mobil sedan hitam di bahu jalan dan meluncur meninggalkan taman kota.

Sepanjang perjalanan aku menatap sekeliling. Menikmati pemandangan bagunan dan cuaca cerah pagi ini. Aku melirik pergelangan tangan, pukul tujuh tiga puluh.
  "Apa majikanmu berada dalam masalah ?" Aku bertanya kearah orang yang menjemputku tadi.
  "Maaf tuan, saya kurang memahami keadaannya sekarang. Ia hanya memberiku perintah menjemput anda." Dengan mata masih terkunci di pengemudi ia menjawab dengan sopan.

Tiga puluh menit kemudian. Kami tiba disebuah restoran ternama di kota ini. Mobil sedan hitam berhenti tepat didepan pintu masuk restoran. Salah seorang pelayan berseragam hitam putih membukakan pintu mobil. Prosedur seperti ini sudah biasa dilakukan untuk penyambutan tamu. Terlebih aku tidak melihat ada mobil lain yang terparkir di halam restoran, tidak salah lagi pasti restoran ini sudah di pesan oleh seorang miliuner.
  "Silakan, Tuan Misaka telah menunggu anda didalam."

Aku mengangguk. Melangkahkan kaki Menuju restoran yang megah itu. "Tunggu!" Aku menghentikan langkah kaki, "Boleh aku bertanya satu hal, kenapa restoran ini sangat sepi pagi ini?"

  "Soal itu, Tuan Misaka telah membokking restoran ini sejak semalam. Guna mengadak perjamuan dengan anda.

Setelah mendengar jawaban yang pas, aku kembali melangkah ke dalam sana.
Dan benar saja didalam restoran ini sangat lengang. Nuansa merah dan kuning nampak begitu indah di dinding restoran serta aroma pekat penggorengan dari dapur tercium tajam. Di setiap suduk restoran nampak seseorang berpakaian formal dilengkapi senjata laras panjang, mereka tengah berjaga.

  "Akhirnya kau telah datang, Si Iblis Merah." Seorang pria berjas hitam berdiri Menyambutku. Usianya sekitar tujuh puluhan namun tidak ada satupun uban dirambutnya. Wajahnya terlihat segar. Mungkin cuma satu-dua garis kerut di dahinya yang nampak.
Ia melangkah dan menyalamiku dengan wajah seri.
Aku membalas menjabat.

  "Langgsung saja ke intinya, Misaka."

Pria berjas itu menarik kursi di sebelahnya. "Duduklah dulu! Silakan."

Tanpa disuruh dua kali aku sudah menduduki kursi yang telah disiapkannya.
 
  "Ini, mau pesan apa?" Ia memberikan daftar menu restoran.

  "Kopi. Itu saja." Aku memotong cepat sebelum Misaka menanyakan hal lain.

  "Hanya itu?"

Aku mengangguk, membuka kancing jas.

  "Kopi dipagi hari, benar-benar menu seorang pembunuh kelas kakap." Ia terkekeh. Membenarkan posisi duduk.

Demi menghormati aku ikut tertawa kecil. "Jadi ada apa sampai-sampai kau mengundangku kemari, Misaka?"

  "Ah, aku hampir lupa soal itu. Maaf kalo mendadak, aku hanya butuh waktumu sebanyak tiga puluh menit, dan setelah kau mendengar semuanya, terserah padamu namun aku berharap kau bersedia membantuku." Kali ini ia memasang wajah serius.

  "Ok, break. What is problem?"  Aku memotong dengan bahasa berkelas.
Beberapa detik kemudian datang seorang pelayan membawa secankir kopi yang kupesan tadi.

  "Kau mungkin belum mengetahui berita ini. Putriku telah diculik oleh kelompok yang bernama Bulghat dua hari lalu. Dan mereka meminta tebusan besar untuk mengembalikannya. Sebenarnya aku bisa saja menebusnya namun, bukan itu yang kuinginkan." Misaka menghela napas panjang. Menatap secangkir wine di depannya.
"Aku ingin kau menghabisi para keparat itu sampai akar-akarnya. Berapapun harganya akan kubayar tanpa nego!"

Aku terdiam, mengambil secangkir kopi di atas meja. Perlahan menyeruputnya. Sementara Misaka menatap penuh harap ke arahku, "Jadi, pertemuan ini tidak lain adalah sebuah permintaan pembantaian besar-besaran?"

Misaka mengangguk cepat, "Jika kau butuh banyak prajurit, anak buahku siap membantumu kapan saja!"

Aku kembali menyeruput kopi, memasang wajah datar. "Ya... aku memang pernah berurusan dengan mereka sekali. Mereka tidak bisa diremehkan apalagi dipandang sebelah mata. Organisasi itu memang sangat mengerihkan. Tidak hanya puluhan orang yang dibutuhkan tetapi cara licik untuk mengalahkannya."

  "Jadi, bagaimana?" Ia mengusap peluh di dahi. Dari tadi ia terus memerhatikan basa-basiku.

  "Shely adalah teman baikku saat kami masih duduk di bangku SMP tidak mungkin aku akan mengabaikannya saat tengah dalam bahaya."

  Misaka menghela napas lega. Kini wajahnya sudah mulai terlihat lemas. "Terima kasih, Rapael. Aku tahu kau pasti mau membantu kami disaat seperti ini."

  "Jangan salah paham dulu, Misaka. Aku tidak bilang akan membantumu. Tentu saja aku akan mengambil jatah yang kuminta."

  "Baik, tidak masalah bagiku. Sekarang katakan kapan waktu penyerbuan dimulai?" Ia bertanya tidak sabaran.

  "Nanti malam, kerahkan seluruh anak buah yang kau miliki akan kutunggu di stadion kota nanti pukul delapan malam." Aku berdiri, memasang kembali kancing jas yang terlepas. "Kalo begitu saya pamit dulu, ada hal lain yang harus dikerjakan." Aku Menjulurkan tangan, menyalaminya.

Tiga puluh menit kemudian, sedan hitam telah berhenti sempurna di depan sebuah kedai sederhana. Aku melangkah turun dari dalamnya. Memberi salam hangat ke arah supir itu.

  "Bagaimana dengan hasilnya, kak?" Shina langgsung bertanya saat aku hendak masuk ke dalam kedai itu.

  "Siapkan dirimu, Shina. Malam ini kita akan datang kesebuah pesta. Bukan sebagai tamu undangan namun sebagai seorang pengacau."

  "Baiklah, kalo begitu. Apa yang harus kubawah?"

  "Apapun yang bisa dibawah, dan beritahu Lanang dan Gabi untuk bersiap juga malam ini."

Shina bergegas menuju dalam kedai dengan masih mengenakan celemek di seragamnya. Aku melangkah menuju kamar. Mengambil pedang katana yang terpajang di dinding. Pedang inilah yang memulai awal perjalanan hidup ini sebagai seorang berjulukan Si Iblis Merah.

***
Bersambung...

Jiwa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang