Si Iblis Merah (part 1)

2 0 0
                                    

Kembali lima belas tahun lalu.

Saat itu usiaku masih enam tahun dan Shina berusia tiga tahun. Kami hidup bersama kedua orang tua kami tepatnya di pinggiran kota, ayah bekerja sebagai dosen di salah satu kampus ternama di negeri ini, ibu bekerja sebagai guru bahasa inggris di salah satu sekolah top di kota ini. Hidup kami tergolong sederhana dan tidak begitu mewah.

Semua berjalan seperti biasa hingga datang malapetaka kepada keluarga kami. Saat kejadian itu, tepatnya pada saat kami pergi mengunjungi paman dan bibi di kota sebelah, mobil kami tunggangi tertabrak truk besar di tengah jalan tol. Pengemudi truk itu di duga mengantuk saat mengendarinya. Terlihat dari gerak-gerik truk yang aneh, truk itu melaju sangat kencang dan membuat pengemudinya hilang kendali. Alhasil ia berhasil menghantam puluhan mobil di depannya termasuk mobil yang kami tunggangi.
Hanya dalam hitungan menit truk besar itu telah merenggut banyak nyawa, tak luput nyawa ayah dan ibuku. Namun takdir berkata lain kepadaku dan Shina, kami selamat dari kecelakan yang mengerihkan itu. Walau mengalami luka yang serius namun nyawa kami terselamatkan oleh beberapa orang dan segerah membawa ke rumah sakit.

Beberapa jam di rumah sakit, paman Zuma datang bersama istrinya bibi Yuan untuk menjengukku. Kini ia duduk di sebelahku yang mulai sadar dari pingsan.
  "Aku tidak menyangka kau bisa selamat dari maut beberapa jam lalu, Rapael." Paman Zuma mengelus rambutku yang berlapis perban putih. "Mulai sekarang kau akan tinggal bersama kami, Rapael. Kami akan mengurus kalian mulai saat ini."

Aku hanya diam menatap langit-langit ruang di mana aku dirawat saat ini. Aku sudah memahami maksud dari perkataan paman Zuma barusan, namun aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadanya. Jika paman Zuma berkata demikian berarti ayah dan ibu telah tiada.

Satu bulan kemudian.

Dokter penanggung jawabku membolehkan kami pulang. Kondisi kami telah benar-benar pulih. Paman Zuma dan Shira putri semata wayangnya telah menjemput kami di lobby rumah sakit.

  "Bagaimana keadaanmu sekarang, Rapael?" Paman Zuma menyapa kami berdua.
Aku memngangguk membalas.

  "Sini, biar aku yang membawa tasmu, Rapael!" Shira mengambil tas hitam di pundakku dengan senyuman polosnya.

  "Terima kasih, Shira." Ia juga menuntunku sampai di depan mobil. Sedang Shina di gendong dengan paman Zuma.

Dua puluh menit kemudian kami sampai di kediaman paman Zuma, bibi Yuan mengantarkan kami ke kamar yang telah di siapkan sebelumnya.
  "Untuk sementara kalian menggunakan kamar ini ya, Rapael, Shina."

Kami mengangguk.

Rumah paman Zuma tidak terlalu besar, hanya penataan dan tampilannya yang membuat rumah ini terlihat elit.

Bibi Yuan telah pergi meninggalkan kami untuk menata barang.
  "Kakak, dimana ayah dan ibu?" Shina bertanya menggunakan wajah polos.
Aku sempat terdiam beberapa menit. Menatap baju di gengamanku.

  "Kenapa kita tinggal disini, kak?" Shina beringsut duduk di kasur sebelahku.

  "Mereka... mereka pergi, Shina." Aku memberanikan diri menjawab.

  "Ke mana mereka pergi?" Ia menyelidik dengan wajah polosnya.

Aku berdiri melangkah menuju jendela sambil menatap langit siang yang cerah di sana. "Mereka pergi ke surga, Shina." Dan saat itu pula aku merasa rindu dengan mereka.

  "Kenapa kita tidak diajak ?"

Aku menghela napas, "sudahlah Shina sebaiknya kita cepat menata barang sebelum makan siang di mulai." Aku mencoba mengelak. Untuk anak seumuran Shina sebaiknya tidak mengetahui tragedi itu hingga suatu hari ia bisa menerimanya.

***

Bersambung

Jiwa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang