Dua belas tahun kemudian.
Usiaku kini delapan belas tahun. Aku berdiri di depan puluhan murid SMA memberi sambutan di acara wisuda. Terlihat Paman Zuma dan Bibi Yuan duduk di belakang puluhan Siswa. Mereka tersenyum dan bertepuk tangan mendengar sambutanku.
"Selamat Rapael, atas peringkat pertamamu." Paman memelukku saat acara wisuda usai.
"Terima kasih banyak paman. Ini juga berkat dukunganmu." Aku menyerahkan sertifikat dan ijazah ke paman Zuma.
"Permisi, boleh kami berfoto denganmu kak rapa?" beberapa siswi junior menghampiriku.
Tentu, tidak masalah bagiku.
Aku lulus dengan peringkat pertama dan juga sebagai lulusan terbaik tahun ini. Hampir semua nilai pelajaranku sempurna. Tidak hanya itu aku juga menguasai teknik beladiri pedang dari paman Zuma yang melatihku selama ini.
Mungkin kalian akan berpikir bahwa kehidupanku sangat menyenangkan. Tapi tunggu dulu. Tidak seperti kalian bayangkan. Sejak aku tinggal bersama Paman Zuma hal mengerihkan selalu terjadi. Paman Zuma mendidikku sangat keras, Ia mengajariku teknik berpedang langgsung menggunakan pedang katana asli. Banyak luka sayatan pedang di tubuhku. Hampir semua anggota tubuhku ada bekas sayatan kecuali wajah dan tangan.
Sedang Bibi Yuan, ia adalah seorang dokter spesiali bedah. Penampilannya mungkin terlihat biasa saja. Namun siapa sangka dia adalah seorang dokter psikopat. Pernah aku dan Shira di setrum dengan listrik tegangan 100 volt gara-gara terlambat masuk sekolah. Tidak hanya itu Ia bahkan menjadikanku dan anaknya sebagai percobaan menemuan barunya yakni varaium. Ia menanamkan varanium ke dalam tulang rusuk kami. Varanium membuat tubuh kami menjadi lebih keras, sangkin kerasnya peluru sniper yang berbobot lima kg tidak bisa menembusnya.
Tanpa di sadari Bibi Yuan telah mengubah kami menjadi monster yang mengerihkan. Dan dari sinilah asal nama panggilanku sebagai Si Iblis Merah berasal. Saat itu hujan lebat tengah membasahi wajah kota sore hari. Aku dan Shina hendak kembali ke rumah paman. Kami melewati lorong di antara bangunan tinggi, tiba-tiba sekelompok perampok muncul menghadang kami. Jumblah mereka tidak kurang seitar dua puluh orang.
"Kalian sepertinya salah jalan kawan." Salah seorang dari mereka melangkah mendekatiku. "Bajumu lumayan bagus, sepertinya mala mini aku akan makan di restoran." Ia berjalan memutar.
"Wah. Apa ini kau juga membawa gadis cantik, malam ini kita juga bakal bersenang-senang." Sekarang perampok itu menyentuh ramput hitam Shina.
"Apa boleh aku membunuh mereka, Kak?" Shina berguman di sebelahku.
Aku terkekeh. Menatap sekitar perampok itu.
"Maaf kawan sepertinya kalian salah mangsa hari ini." Aku memegang pedang katana yang melilit di pinggangku sebagai sabuk. Begitu pula Shina.
Pria di sebelahku ikut tertawa. "Lucu sekali bercandamu. Sepertinya kau habis meminum tuak ya. Atau kau ini buta."
Mereka kini mengeluarkan pisau lipat dan juga sebagaian mengeluarkan senjata api.
"Baiklah sepertinya kalian mengetahui siapa kami." Aku menarik pedang katanaku.
"Kau bisa mengamuk sepuasnya, Shina. Lakukan!" tanpa aku berkata dua kali Shina menarik pedangnya dan melompat ke kerumuhan perampok itu ke belakang.
Aku melangkah melawan lima belas orang di depanku. "Ayo, Maju!" Aku tersenyum menatap mereka.
Beberapa detik kemudian Shina berdiri di sebelahku sebelum aku memulai pertempuran kotor ini. "Ah, kau sudah selesai menghabisi mereka padahal aku baru memulainya."
Para perampok itu tidak percaya melihat Shina menghabisi lima orang dalam sepuluh detik. Nafasnya kini menderu, pedangnya berlumur darah. Shina hendak berlari menuju lima belas orang di depannya.
Tunggu!!
Aku menarik kerah seragamnya. "Ayolah. Sekarang giliranku untuk beraksi. Kau duduk di sini!" Shina menurut dan duduk tenang di atas tumpukan mayat korbannya.
SERANG!!
Salah seorang dari mereka berseru
DOR! DOR!
Suara pistol bersahutan. Menghujaniku.
Mereka tertawa riang, namun tidak lama tawa mereka berhenti ketika melihatku masih berdiri tegak di depan mereka. Tatapan mereka mencengkam seolah tidak percaya.
"Astaga. Siapa sebenarnya kalian?" seorang berseru.
"Siapa kami? Baiklah ingat nama kami baik-baik. KAMI ADALAH SI IBLIS MERAH pembunuh rantai atas di negeri ini."
Kaki mereka bergetar saat kalimat Si Iblis Merah masuk ke telinga. Kini aku berlari dan menghunuskan pedang kea rah mereka Tanpa ampun. Setiap aku memengal kepala mereka rasanya sangat menyenangkan. Percikan darah membasahi bajuku. Lorong yang semula bersih dan rapi kini menjadi genangan darah dan tumpukan mayat manusia.
Aku menyisakan satu orang dari mereka untuk mengali informasi.
"Melihat jumblah kalian yang banyak, pasti kalian memiliki atasan bukan? Dan Siapakah atasanmu itu?" aku bertanya, menatap wajah orang itu.
"Tidak...Tolong lepaskan aku!" Ia berteriak memejamkan mata.
Baiklah dia tidak mau membuka mulut, aku menyuruh Shina untuk menusuk kedua pahanya. Seketiak ia menjerit merasakan kesakitan luar biasa.
"Kenapa kita tidak langgsung membunuhnya saja, kak?" Shina mencabut pedangnya dari paha orang itu.
"Shina. Adikku. Membunuhnya secara langgsung itu terlalu ringan baginya. Setidaknya kita harus membunuhnya secara perlahan supaya ia merasakan kesakitan yang dialami korbanya." Aku mengelus kepalanya.
"aku mohon, bunuh aku sekarang!" Pria itu menjerit kesakitan.
"Tenang saja aku pasti membunuhmu." Aku mengambil sesuatu di dalam tasku.
"Tidak....Tolong aku, seseorang tolong aku." Pria itu menjerit melihat guntung besar berada di tanganngku.
"Saatnya permain sebenarnya di mulai."
***
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa yang Hilang
Adventurekisah ini dimulai ketika seorang anak kehilangan orang yang disayangi, kehilangan hal yang seharusnya didapat, kehilangan senyuman, dan kehilangan cinta didalam hatinya. Rapael, itulah nama anak yang bernasib malang itu. ia memulai perjalanan hidupn...