Prolog

25 18 7
                                    

Seorang lelaki dengan hobi membaca mencari sebuah buku di jejeran rak di perpustakaan tempat ia bersekolah. Setelah sekitar sepuh menit berlalu, ia menemukan sebuah buku dengan sampul cokelat usang agar berdebu. Sepertinya buku itu telah lama tidak tersentuh tangan manusia.

Buku itu berjudul Tower of Destiny, atau jika diartikan menjadi 'Menara Takdir'. Lelaki bernama Kei membuka sampul buku. Bahkan kertasnya pun terlihat sangat usang.

Ia membuka tiap halaman yang ada, hingga ia terhenti pada halaman 100. Ada satu kalimat besar di sana. 'Petualanganmu akan segera dimulai'.

Kei tersenyum puas. Sepertinya ia menemukan buku yang menarik.

Sebagai seorang remaja, ia bisa dikategorikan sebagai orang 'kampungan' dan 'norak'. Bagaimana tidak, saat remaja seusianya lebih menyukai game online, ia justru menyukai buku, seperti bocah yang tidak tau perkembangan dunia.

Kei membawa buku itu ke bagian peminjaman. Setelah transaksi berhasil, ia memasukkan buku itu ke tas gendongnya dan membawanya pulang.

****

Matahari hampir tumbang tenggelam di balik gedung-gedung yang menjulang. Memang, sudah menjadi rutinitas Kei sampai di rumah menjelang petang.

Ia membanting tas gendongnya sembarang, mulai rebahan. Kei merogoh kantong celananya, meraih telepon genggam dan memeriksa pesan masuk.

Kei mendengus sebal.

"Kemana perginya Viole? Sudah hampir tiga hari gadis itu tidak mengirimiku pesan, bahkan tidak masuk sekolah. Apa dia sakit?"

Kei mulai menghilangkan rasa gengsinya. Ia menghubungi Viole. Detak jantungnya berdegup tak beraturan. Belum apa-apa, napasnya tersengal seperti habis lari jarak jauh.

Bunyi 'bip' terus berulang beberapa menit, hingga akhirnya seseorang di ujung telepon angkat bicara. Wajah Kei merah merona seketika.

"Halo, Viole. Apa kabar? Sudah tiga hari ini kamu menghilang, kemana saja?"

"Maaf, ini siapa?"

Kei tertegun. Bukan karena seseorang di ujung telepon sana tidak mengenalnya, melainkan suara yang terdengar berbeda. Suara ini, bukan milik Viole.

"Oh, halo. Saya Kei, teman Viole. Maaf, bisa bicara dengan Viole sebentar?"

"Viole....hilang."

Seperti sebuah petir menyambar dengan kekuatan miliaran volt, seketika otak Kei tak bekerja. Kakinya melangkah sendiri, berlari ke rumah Viole.

Hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai di depan pintu gerbang rumah gadis pujaan hatinya.

Kei mengetuk pintu. Tak perlu menunggu lama untuk seseorang membukanya. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah lesu dan kantung mata yang terlihat hitam legam.

"Tan..tante, apa maksudnya dengan Viole..hilang?"

"Masuk dulu, Nak."

Kei mengangguk.

Di ruang tamu berukuran agak luas itu, mamah Viole menjelaskan kasus hilangnya anak gadis semata wayangnya.

"Hari Minggu lalu, Viole baru saja membeli sebuah alat virtual. Ia memainkan game apalah namanya yang sedang viral itu. Katanya, jika seseorang masuk dalam game itu, tubuhnya juga akan menghilang. Memang, Viole sudah menunjukkan pada Tante percobaan pertama. Dan itu hanya berlangsung satu menit. Setelah itu Viole kembali. Tapi saat percobaan kedua, dia berkata mau bermain sedikit lama. Katanya, dia bosan. Makanya Tante mengizinkan. Hilangnya tubuh Viole itu, Tante sudah tidak sepanik percobaan pertama. Tante yakin dia akan kembali sebelum makan siang. Tapi....." mamah Viole mulai menitihkan air mata, mengingat anak semata wayangnya belum juga kembali.

Sebagai seorang remaja yang tergolong cerdas, Kei langsung paham permasalahannya.

" Tante, boleh lihat kardus game itu?"

Tante mengangguk. Ia melangkah pergi, mengambil kardus yang digunakan untuk membungkus alat penghubung dengan game yang dimainkan Viole. Hanya berlangsung beberapa menit, mamah Viole kembali ke ruang tamu dan menyerahkan kardus itu pada Kei.

Kei memeriksa, mencermati tiap kata yang tertera. Memang benar, saat pemain log in ke dalam game, tubuhnya akan menghilang seluruhnya. Saat log out, tubuhnya akan kembali ke dunianya.

Masa dunia dan masa game berbanding 1 : 100. Artinya, seratus hari di dunia game sama dengan satu hari di dunia nyata. Jika Viole hilang selama tiga hari di dunia nyata, artinya ia terjebak di dunia game selama tiga ratus hari.

Ia mengamati kembali, mencari nama permainan petaka yang menghilangkan Viole. "Tower of Destiny".

Kei membelalak, seakan tak percaya dengan yang ia baca. Tower of Destiny? Bukankah judul ini sama dengan buku yang ia pinjam di perpustakaan?

Kei berdiri. " Tante, boleh aku bawa ini? Aku janji akan mencari cara mengembalikan Viole!"

Tante mengangguk. Ia tak mampu lagi berkata. Tangisnya masih pecah. Sepertinya, mamah Viole tak berhenti menangis selama tiga hari penuh.
***
Di rumah, Kei mengambil buku yang masih ia simpan di dalam tas gendongnya. Buku lusuh dengan judul yang sama, bahkan jenis dan warna hurufnya terlihat sama.

"Apa ini kebetulan? Buku lusuh dan game yang baru dirilis? Bahkan keduanya terpaut waktu yang lama?"

Kei membuka lembar tiap lembar, sampai ia terhenti di halaman seratus. Masih dengan kalimat yang sama.

"Petualanganmu akan segera dimulai."

Kei membuka lembaran berikutnya.
"Tutuplah buku ini jika kamu tidak mau bermain dengan takdir. Berikan darahmu jika kamu ingin melawan takdir dan mencoba petualangan yang menegangkan."

"Apa ini? Berikan darah?"

Kei mengambil jarum, menusuk ibu jarinya hingga darah keluar. Ia menyentuh buku itu dengan jari yang berdarah.

Tubuh Kei bercahanya, berpendar, sebelum menghilang tersedot ke dalam buku.

"Apa yang terjadi? Tidak!!"

"Kamu telah membuat kontrak. Selamat datang di menara, dimana nyawamu dipertaruhkan!"

Tower of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang