~~~
Hari-hari libur melaju cepat, jadwal padat perkuliahan sudah menghadang di depan dengan berangnya.
Saat memasuki kelas, tak ada yang berbeda, kipas angin butut itu masih bernyawa di atas, nostalgia cengeng dengan pak Sin yang mana air mata buaya kami mengatakan, kenapa kita masih harus bertemu lagi!
Pak Sin langsung memulai materi, kombinatorika tingkat lanjut yang menjadi momok bagi mahasiswa semester tinggi sepertiku. Namun kurasa hal itu tidak berlaku terhadap Ayu, Ia selalu mengangguk paham terhadap seluruh perkataan pak Sin.
Diam-diam aku menunduk, membuka aplikasi live BMKG, dan berdecak kesal. Tak berbeda dari sebelumnya. Tingkat kesombongan matahari sama sekali tak berkurang.
Hei, tapi kenapa semua terasa menyenangkan sekarang, seolah sifat pilih-kasih kipas angin butut itu tak lagi terasa menyiksa, materi kombinatorika tingkat lanjut yang dijelaskan pak Sin terlihat lebih bersahabat, walau aku masih tak paham sama seperti yang sudah-sudah. Cuaca panas mentereng ini tak lagi mampu membuatku terbakar.
Apakah ini karena adanya variabel baru bernama 'Rando' dalam hidupku?
~~~
Aku terus melirik jam, menghindari tatapan mahasiswa lain yang kebetulan mengenalku. Berdiri di depan gedung fakultas yang sama sekali tak ada hubungannya denganku seperti ini bisa dibilang agak memalukan, terus terang.
"Hai, kita ketemu lagi," aku dengan sigap menghadang Rando setelah kelasnya usai. Bersikap sealami mungkin, seolah pertemuan ini tidak dipersiapkan matang-matang sebelumnya.
"Kenapa kau berada disini?" beruntung Rando menanyakannya dengan nada rendah, aku berterima kasih pada Tuhan karenanya.
"Kita satu kampus, bukan hal yang aneh kan bila bertemu?"
Dia mengangguk, mencernanya mentah-mentah.
Aku mengusulkan agar kita makan siang bersama, Ia menolak dengan halus, 10 menit lagi tugasnya sebagai staf administrasi perpustakaan sudah harus dimulai, keterlambatan tak bisa dimaafkan.
Rupanya Ia lebih takut kepada 'bos' yang asli dibanding aku yang 'anak bos' ini.
Terlambat sama dengan korupsi waktu. Begitu prinsip hidupnya selaku anak fakultas hukum semester awal.
Aku bisa memaklumi, aku juga menganggap matematika adalah ilmu yang menyenangkan saat menjadi mahasiswi semester awal dulu.
Dengan mengkal, aku berjalan menuju kedai geprek sendirian. Aku butuh sesuatu yang pedas-pedas guna membakar rasa frustasiku.
Setelah memesan menu terpedas yang ada di kedai itu, aku menyengrit mendapati Ayu yang juga makan di kedai ini, apakah Ia juga frustasi sepertiku? Bayangan pak Sin menepis anggapan itu. Bukankah sudah kubilang bahwa hasilnya adalah 100% waktu itu!
Aku membawa nampanku ke mejanya, bagaimanapun aku harus bersikap macam teman sekelas yang profesional, walau hatiku terus memprotes dan mengusulkan agar aku membungkusnya saja.
"Hai, Ayu." sudah pasti ini basa-basi. Aku tak seharusnya seramah ini pada orang yang telah mengambil jatah tiket emas 'bebas matkul pak Sin' secara paksa dariku ini.
Ayu balas tersenyum. Walau dibanjiri keringat dan sambal belepotan, Ia masih bisa tersenyum semanis ini.
Geprek yang mulai kumakan, tingkat kepedasannya melejit hingga 10x lipat.
Sungguh pedas gadis bernama Ayu ini.
"Apa kau juga suka makan di sini, aku jarang melihatmu," tanya Ayu menghentikan suasana canggung ini.