Diam-diam aku mengecek ponselku, menunduk menghindari tatapan dosen, membuka aplikasi Live BMKG dan mendesah lega setelahnya. "Ternyata ini bukan sebab aku tidak mandi tadi pagi, Matahari memang sedang pamer tentang betapa kuatnya Ia."
Kelas ini pun sama sekali tak mau berkompromi, satu-satunya kipas angin yang tergantung di atas kelas berderit kepayahan. Hembus anginnya sama sekali tak menjangkau otonomi bangkuku. Heh! Apakah menteri-menteri yang sedang berleha di bangku empuknya tidak pernah membaca jurnal soal 'fenomena gerah body ternyata dapat menurunkan daya fungsi otak?' Kurasa mereka perlu membaca lebih banyak soal jurnal-jurnal populer macam itu.
Pak Sin juga tanpa ampun. Ia melenggok kesana kemari, mulut berkumisnya tak henti membeberkan materi-materi baru yang tak kupahami maksudnya. Menyulap papan tulis 3*2 meter yang terpampang di depan kelas sempurna dipenuhi deretan angka yang akan membuat siapapun berkunang-kunang kala melihatnya.
Dan disaat semuanya terasa terbakar, lihatlah Ayu yang duduk di bangku terdepan. Wajahnya masih saja tampak fresh seperti tak terpengaruh oleh seringai jahat sinar matahari(Kipas angin sialan itu juga berpihak padanya, kenapa pula Ia bisa sok-macet kala hembus anginnya tertuju ke bangku Ayu!).
Guru berkumis tebal dan bermata sipit itu tanpa bisa dielakkan juga terlihat jelas sekali memberi perhatian lebih kepada Ayu! Pak Sin jelas tak pernah menghampiri bangkuku dan bertanya lembut "Bagian mana yang kau belum pahami?" macam yang ia selalu lakukan kepada Ayu.
Ketika kau terlahir cantik, maka separuh dari seluruh masalahmu sudah terselesaikan.
Memikirkannya membuat aku merasa bahwa diriku sudah berubah menjadi Hell boy. Eh, salah. Hell girl karena aku ini perempuan. Sifat iri dan dengki memang manusiawi. Siapa pula yang tak kesal melihat sesuatu se-sempurna dan tanpa cela macam itu.
Di puncak keberanganku. Pak Sin menaikkan satu oktaf suaranya yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang akan dikatakannya ini penting(Aku sempat berpikir apakah 2 jam kuliah yang diberikannya sedari tadi ini bisa dianggap tidak penting? Kalau memang begitu ya ... syukurlah.)
"Saya akan mengajukan suatu pertanyaan. Yang bisa menjawab dengan baik akan saya beri kebebasan penuh dalam matkul saya di semester ini."
Kantuk yang merundungku seketika sirna, tawaran macam apa itu? matkul pak Sin adalah salah satu yang tersulit dan teribet di kampus ini. Alfa sekali saja bisa berbuntut panjang, dan tawaran konyol ini. Aku tak akan melewatkannya.
"Tuliskan nominal angka terbanyak yang kamu mampu di papan tulis!"
Kukira pertanyaannya akan berbasis probabilitas sinting ataupun kalkulus tingkat dewa. Namun pertanyaan sekonyol ini aku pasti bisa menjawabnya. Mungkin mood pak Sin sedang baik di cuaca yang sedang tak baik ini.
Aku langsung mengacungkan tangan sedetik setelahnya. Berlari ke depan agar tak ada siapapun yang mendahului, meraih spidol dari genggaman pas Sin dan menuliskan jawaban yang diyakini otak kecilku sebagai "jawaban yang tepat!"
Aku menuliskan angka 9 sebanyak mungkin, jumlah digit angka itu memenuhi barat hingga timur papan tulis. Melelahkan memang, tapi bayangan bisa berleha-leha setelah ini sanggup menghibur seluruh laraku.
Pak Sin mengangguk. Lantas memandang ke arah kami lagi. "Apakah ada yang bisa melebihi jumlah nominal yang dituliskan oleh nona Farah?" katanya sambil mengangkat spidol tinggi-tinggi, memancing hasrat-hasrat kuat bagi mereka yang selama ini mengeluh dalam hati soal "Betapa mengerikannya Matkul pak Sin!.
Kupikir kuis rebutan itu sudah selesai, menuliskan angka 9 yang lebih banyak dari milikku akan sungguh melelahkan. Tapi lihatlah Ayu, mengangkat tangan lentiknya, dan berjalan menuju ke depan dengan anggun.
"Saya juga ingin menjawabnya, pak dosen."
Aku mendengus kesal, apalagi rencana liciknya untuk membuat diriku ini lebih terbakar? Apa dia masih belum puas setelah merekrut kipas angin butut itu dan pak Sin dalam komplotannya? Ia juga ingin merenggut impian bisa berleha-leha milikku. Astaga... Kenapa Ia bisa serakus itu!
Dengan jari lentiknya, Ia hanya membuat sebuah logo, yang biasa kita sebut dengan 'Infinity' atau 'tak berbatas'. Dan langsung kembali ke bangkunya.
Kejadian tadi, walau aku muak mengakuinya, tapi bisa dibilang anggun sekali! Sialan!
Pak Sin terlihat puas dengan jawaban Ayu, dan memandangku dengan upaya penuh untuk menahan tawa.
"Setidaknya, Bapak akan mengapresiasi bila kau berusaha menjawabnya menggunakan Bilangan Graham, Heksadesimal, Googolplex ataupun Angka Rayo, tapi astaga ... Kau hanya menuliskan angka 9 dari pojok hingga pojok. Anak TK pun bisa menuliskan angka 9 yang lebih banyak darimu."
Seisi kelas bergemuruh menyoraki. Walau aku dikenal jutek dan tak peduli cibiran orang, kasus ini telak menghantamku. 'Headshot' kalau kata player PUBG. Komplet sudah paket penderitaan hari ini
"Dan Ayu, kau bisa bebas setelah ini. kau boleh meninggalkan kelas sekarang dan aku akan tetap memberimu nilai A nanti."
Ayu menggeleng malu, "tidak pak, saya akan tetap ikut pelajaran saja."
Penolakan itu sungguh mustahil! Kenapa pula anak itu menjawab pertanyaan tadi bila tak mau hadiahnya.
Kelas ditutup dan aku pun sempurna meletup.
~~~
Di malam hari sebelum terlelap, aku teringat wajah pak Sin kala menjelaskan mata kuliahnya.
50% bila ditambah 50% akan menjadi berapa hasilnya? Apakah akan menjadi genap 100%, atau hanya setengah ditambah setengahnya lagi macam diskon baju yang dipajang di mall-mall itu?
Aku sedang menghitung probabilitas "Seberapa banyak masalah yang mungkin akan dihadapi semasa hidup Ayu."
Variabel 50% yang pertama berasal dari kutipan "Ketika kau terlahir cantik, maka setengah dari seluruh masalahmu sudah terselesaikan."
Dan variabel 50% yang kedua berasal dari kutipan " Bila kau memiliki otak yang cerdas, setengah dari masalah hidupmu sudah terpecahkan."
Jadi apakah 100% masalah hidupnya sudah terselesaikan? Atau masih ada sedikit masalah yang tersisa dari setengah yang ditambah dengan setengah lagi itu?
Saat sudah terlelap. Pak Sin menghampiriku dan menjawab bahwa hasilnya adalah 100%. "Tak perlu repot-repot menjumlahkan yang setengah ditambah setengah lagi itu, bisa-bisa otak kecilmu tak sanggup mengkalkulasikannya dan menjadi error," begitu katanya. Aku balas berterima kasih. Bahkan dalam mimpi-pun, teror pak Sin masih saja berlanjut.
~~~