Penjelasan

6 2 0
                                    






Ayu menyisingkan rambut panjangnya kebelakang telinga, permulaan yang cukup dramatis. "Semua dimulai setelah pertemuan pertama kita di tempat ini dahulu. Jujur, saat itu aku sangat kelaparan dan tak tahan melihat betapa menggiurkannya bisa makan geprek ketika lapar akut melanda,"

Ayu mengecilkan volume suaranya. Jelas-jelas Ia tak ingin pak tua pemilik kedai ini mendengar pembicaraannya.

"Aku tidak kehilangan dompet saat itu, sedari awal aku memang tak bawa uang."

Tangisku terhenti, ini sama sekali hal yang tak pernah terpikirkan olehku.

"Aku sangat kelaparan, dan aku bersedia untuk mencuci piring seharian sebagai ganti tak bisa membayar. Namun pak tua itu berbaik hati, menyuruhku membayarnya esok hari."

"Keesokannya pun aku masih tak bisa membayar, aku justru membutuhkan uang, dalam jumlah yang sangat banyak. Penyakit Ibuku bertambah parah, Ia dalam keadaan kritis saat itu. Aku tak memiliki banyak kenalan, tak tahu harus menghubungi siapa, aku berlari menuju kedai ini lagi. Alih-alih membayar utang kemarin, aku justru meminta pinjaman dengan jumlah yang sangat besar. Aku menjelaskan segalanya pada pak tua itu."

Wajah cantik Ayu berlinang air mata, Ia mengusapnya sesegera mungkin, sungguh aneh bila pegawai menangis bersama pelanggan dalam satu meja seperti itu. Sama sekali tidak profesional!

"Pak tua itu menolongku, Ia memiliki hati sebening kaca. Ia segera menutup kedai, bersegera mengambil mobil yang sama tuanya dengannya, dan mengantarkan Ibu ke rumah sakit. Membayar lunas seluruh biaya operasi. Mengawasi jalannya proses pemulihan Ibu, hingga bisa kembali pulih sedia kala.

Aku tak tahu bagaimana cara membalas jasanya padaku. Pak tua itu bak malaikat bagiku, aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi bila Ia menolak untuk menolong saat itu.

Aku memutuskan untuk DO dari kampus, keputusan yang berat. Uang yang tersisa lebih baik digunakan untuk membiayai proses pengobatan Ibu. Lagipula walau sudah mati-matian agar bisa memahami pelajaran pak Sin, aku tak kunjung paham juga, keinginanku untuk bisa mendapat IPK tinggi dan mendapat job bagus terasa mustahil,"
Ayu tersenyum getir.

Aku meneguk ludah, asam lambung naik menyebabkan perutku mual dan lidah terasa pahit. Ini benar-benar di luar dugaan.

DO-nya Ayu dari kampus memang sempat menjadi trending, tapi aku sama sekali tak menggubrisnya. Tekadku sudah bulat untuk menjauhkan 2 orang 'itu' dari hidupku.

"Aku memutuskan untuk mengganti seluruh utangku dengan menjadi pegawai sukarela disini, mengubur dalam-dalam impian masa kecilku untuk menjadi model. Tapi ternyata penderitaanku belum berhenti ..." Ayu sempurna menangis, kebetulan kedai sedang kosong. Tak apa untuk menjadi tidak profesional saat tak ada yang melihat.

"Ibuku meninggal seminggu lalu. Obat tak lagi mampu menyambung nyawanya, aku depresi, linglung. Utang yang ditinggalkan menumpuk, pak tua mengijinkanku untuk hidup semauku, tak usah memikirkan lagi soal beban utang, bilang bahwa aku ini cantik dan masih memiliki masa depan cerah.

Hei, siapa sih yang suka bilang begitu? Orang berpikir dengan menjadi cantik maka hidup akan menjadi mudah. Bila benar begitu, betapa hidup akan menjadi sangat tidak adil."

"Lihatlah kau sekarang, sudah jadi orang sukses walau tak cantik-cantik amat. Sedari dulu aku iri padamu, bisa hidup bebas sesuai kehendak, tak disopir oleh pandangan orang lain tentangmu."

Aku cukup tersinggung di bagian 'tak cantik-cantik amat' itu, tapi ternyata semua hal yang kupikirkan bertolak belakang. Pikiranku selama ini sempurna mengelabui.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa kau sudah menangis sebelum aku menceritakan kisah sedihku?"

Aku tersedak, "Rando. Ini semua tentangnya," Ayu tampak tak asing dengan nama itu.

"Ada apa dengan lelaki itu, kau ada masalah dengannya?"

Sebagai jawaban, aku membuka lembar demi lembar buku kecil itu.

"Ada seorang gadis, yang selalu aku temui saat membaca buku di Perpustakaan Kota. Ia selalu senyum-senyum sendiri saat aku meliriknya, walau aku ragu senyum itu ditujukan padaku. Pokoknya mulai hari ini, aku berikrar untuk mencintainya!"

Di halaman lain.

"Gadis itu ternyata bernama Farah, mahasiswi semester 4 fakultas matematika. Wah ... unik juga ya, kenapa anak jurusan matematika malah suka baca novel. Aku jadi semakin kepincut padanya.

"Hari ini aku coba mengintip kelasnya, bolos sebentar bukan masalah. Kenapa Ia sering menunduk-nundukkan kepala seperti itu? Dan hei, kenapa Ia menulis angka 9 dari pojok ke pojok? Wah, semakin misterius, aku suka sesuatu yang penuh intrik macam ini.

Entah di halaman yang keberapa,

"Hari ini aku mencoba melamar menjadi pegawai perpustakaan, dengan begitu mungkin aku bisa mengajaknya mengobrol daripada hanya melihatnya tersenyum-senyum sendiri dari jauh. Dan syukurlah, aku diterima! Kita akan semakin sering bertemu."

"Hei dia akan masuk, apa yang harus kulakukan, bila membiarkannya lewat maka usahaku jadi pegawai perpustakaan akan sia-sia. Aku menanyakan kartu perpustakaan miliknya, membuat malu memang, tapi setidaknya aku bisa mengobrol dengannya. Bila dilihat dari dekat, Ia jauh lebih imut."

"Sebuah kemajuan yang fantastis, Ia mengajakku makan siang berdua, hatiku tak tahan untuk mencelos, tapi aku takut bila nanti nge-fly tanpa terkendali di tengah jalan. Dengan bodohnya aku menolak.

"Aku tak bilang bahwa aku tak akan mengikutinya, terlambat absen di perpustakaan bukan masalah bagiku, lagipula dia 'anak bos' bukan, itu akan semakin memudahkan. Ternyata Ia menghampiri warung geprek, dan bercakap-cakap dengan seorang gadis. Pasti itu sahabat baiknya, aku akan menanyainya macam-macam nanti."

"Aku mencegat sahabat dekat Farah itu setelah mereka berpisah. Aku memohon agar diberi tahu macam-macam hal soal Farah. Ia menjawab bahwa lebih baik aku tidak tau. Kujawab bahwa aku tetap ingin tahu, dan Ia bilang untuk menemuinya di toko buku minggu depan.

Air mata pemahaman berlinangan hangat mengalir sejalur dengan tulang pipi, aku tak tahu harus berekspresi seperti apa. Dan kenapa Ia menyebut Ayu sebagai sahabatku?

"Farah mengajakku untuk kencan! (jalan-jalan lebih tepatnya). Sayang ini jadwalku untuk menemui sahabatnya, aku harus mengumpulkan informasi mengenainya terlebih dahulu, agar tidak canggung bila diajak kencan nanti. Lagi-lagi aku menolak ajakannya, sayang sekali. Aku tak bisa tidur semalaman karenanya."

"Aku dipecat! Sangat sedih, sangat sedih. Kenapa aku dipecat, bagaimana cara agar tetap dekat dengannya?

Halaman setelahnya kosong, aku saat itu memang memutuskan untuk menghilang dari hidupnya.

Di halaman terakhir ada sepatah tulisan,

"Gadis itu hilang, hidupku ikut terhanyut bersamanya."

Aku sempurna menangis. Kenapa aku bisa berpikir begitu dahulu, bila aku tidak terlalu cepat menyimpulkan. Rando ... Aku tak tega untuk mengucapkan, "Bisa hidup bahagia denganku saat ini."

Ternyata semua tidak seperti yang terlihat, pikiranku sempurna menyesatkanku.

Ada seorang pria di depan kedai, berjalan urakan, bajunya compang-camping, sungguh tak terurus, ketika pandangannya terarah padaku, aku berbisik pelan mengerikan, "Rando."

"Owh ... Ternyata pria itu yang kau maksud, Ia memang hampir setiap hari mampir kesini, memakan geprek terpedas, sepertinya rasa frustasinya tak kunjung terbakar, lama-kelamaan Ia terus membawa botol ciu kemanapun Ia pergi, aku sempat mengenalnya, Ia cukup tampan untuk didekati. Tapi menghentikannya setelah mengetahui bahwa Ia ternyata tak waras, dan kini aku mengetahui bahwa kau lah pelakunya," Ayu melirik benci kepadaku.

Aku kembali teringat sesuatu, biasanya bayangan pak Sin muncul disaat-saat genting seperti ini. Aku ingin kembali menyapanya, dan mengucap terimakasih atas nasehatnya yang selama ini benar.

"Tak usah dipikirkan, bisa-bisa otak kecilmu meledak nanti."

Aku terlalu banyak berpikir, menyimpulkan segalanya atas apa yang terlihat. Padahal itu semua hanya asumsi, seandainya dari dulu aku mematuhi nasihat pak Sin ...

BERPIKIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang