Gadis Kuil

68 5 0
                                    

Aku menghela napas sekali lagi. Sapu kebun yang setiap hari kupegang itu, entah kenapa hari ini terasa begitu berat. Warna merah muda pudar yang memenuhi pelataran kuil, malah membuatku merasa lesu.

Ya, tahun ini - lebih tepatnya hari ini, aku resmi menjadi siswa kelas 3 SMA. Ayah tidak mempermasalahkan kemana aku akan menempuh pendidikan lagi nantinya. Tapi layaknya murid SMA kelas 3 dimanapun, aku masih bingung kemana harus pergi. Mungkin beberapa anak masih menikmati masa awal masuk sekolah, tapi pasti mereka akan kebingungan di akhir.

Suara lonceng kuil membangunkanku dari lamunan. Sepertinya aku sedari tadi bersandar di sapu tuaku. Ah, dia datang lagi.

Seorang laki-laki yang mengenakan turtleneck dan jaket berdiri di depan kuil dan seperti biasa daripada melempar uang koin, ia akan melempar uang lembaran ke dalam kotak.

Aku belum tahu namanya, tapi laki-laki itu setiap hari berdoa kemari sebelum aku berangkat sekolah, bahkan walau salju turun dengan lebatnya. Ia selalu berdoa dengan wajah tegas lalu segera angkat kaki dari sini. Tapi hari ini, ia terlihat sedih.

Bahkan ayah, yang dikenal sebagai kepala kuil yang hafal seluruh penduduk di kota ini, juga tidak mengenal laki-laki itu. Artinya, ia adalah warga kota sebelah atau...makhluk yang lain...

Aku menggelengkan kepala dan menepuk pipiku keras. Aku tidak boleh lemas begini. Ibuku tersayang pasti akan marah kalau aku memikirkan hal yang aneh. Aku segera menyelesaikan pekerjaanku dan kembali ke rumah untuk berganti sepatu. Aku tidak ingin insiden "pakai sandal ke sekolah" kembali terulang.
Saat akan keluar rumah, mulutku membentuk huruf "o" kecil melihat adikku yang mengenakan seragam SMP. Hari ini juga, adik laki-laki kesayanganku, Shingu Kei, resmi menjadi siswa kelas 1 SMP.

"Kau cocok sekali memakainya."

"Terima kasih. Neesan."

Ah, dia sungguh manis. Ibuku tersayang, terima kasih sudah melahirkan adik terbaikku ini.
Kei tidak banyak bicara, tapi juga tidak pendiam. Ia berbicara secukupnya dan mudah bergaul. Ia juga sangat mahir berolahraga - membuatnya menjadi salah satu idola di SD nya. Tapi, sayang sekali ia hanya bisa mengenal ibu hingga usia 5 tahun saja. Setelah berpamitan pada ayah, kami segera berangkat bersama ke sekolah.

Jarak SMP Kei dengan SMA ku tidak begitu jauh. Hanya terpisah 2 bangunan lain. Sepanjang perjalanan ke sekolah, Kei menceritakan padaku tentang bagaimana ia ingin masuk ke klub sepak bola dan ikut kejuaraan dengan semangat. Ah, adikku yang sedang semangat juga manis. Aku berharap agar ia tidak terburu-buru tumbuh dewasa.

"Oh ya. Laki-laki itu datang lagi tadi."

"Laki-laki itu? Oh yang kata neesan selalu memberi persembahan uang kertas?"

"Iya. Dia terlihat sedih hari ini."

Kei terdiam sesaat dengan wajah khawatir dan bingung. Ekspresi yang sering ditunjukkan oleh ibu tersayang.

"Apa benar kakak melihatnya?"

"Iya. Aku melihatnya dengan jelas. Ia mengenakan pakaian seperti anak kuliahan, rambutnya biru gelap agak acakan, dan matanya indah berwarna emas."

Sepertinya Kei dan ayah sama-sama tidak bisa melihatnya. Mereka hanya mendengar suara lonceng berbunyi tanpa ada siapapun di depannya. Jadi, apakah laki-laki itu benar-benar hantu?. Jika iya, kenapa dia hanya muncul di depanku saja?
Sambil mempertanyakan dalam diri tentang jawabannya, kami sudah sampai di depan bangunan SMP.

"Nanti malam aku akan memasak kroket. Selamat bersenang-senang."

"Iya. Hati-hati, neesan."

Banyak wajah-wajah yang kemarin mengenakan seragam SMP kini mengenakan seragam SMA. Mereka pasti murid baru. Hee, aku jadi penasaran dengan anak-anak baru itu. Pasti mereka jauh lebih bersemangat daripada kami yang sudah ada di penghujung masa SMA.

Shikiori Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang