0;4 Blood

9 2 0
                                    

Setelah makan malam keluarga, Yeeun tak lagi mendapati Seokjin yang sibuk menganggunya kerja karena terlalu sering memberi pesan singkat atau sekedar menelfon hanya untuk mendengar suaranya.

Yeeun tak lagi direpoti dengan ajakan mendadak dari pria itu mengenai tempat-tempat unik yang harus mereka kunjungi selepas pulang kerja ataupun diakhir pekan.

Juga sudah tak ada lagi tumpangan gratis menuju apartment disaat harus menyelesaikan pekerjaan hingga larut malam.

Yeeun tidak mengerti alasannya. Setiap bertanya pada pihak keluarga, baik Ibu atau Ayahnya selalu memberi jawaban yang sama, bahwa mereka tak mengatakan apapun pada Seokjin yang dapat membuat pria itu menghilang konyol seperti ini.

Entah harus bersenang atau bersedih hati menyikapinya, Yeeun memilih untuk terbiasa.

Terbiasa untuk disetiap keadaan mendadak yang seperti ini. Bahkan dulu Seokjin juga pernah melakukannya, setidaknya untuk yang kali ini dirinya sedikit lebih siap.

Diam adalah jalan terbaik, meski sebagian dari dirinya mencemaskan keberadaan pria itu. Mungkin nanti ia akan mencoba menghubungi pria itu, sekedar belajar menurunkan kadar ego dari dalam dirinya.

Melatih agar semua dalam kembali ke keadaan semula.

"Yeeun sunbae, ada yang menunggumu di lobby." Ujar juniornya itu sembari membawa beberapa berkas yang harus diserahkannya pada atasan.

Yeeun yang semula menatap kosong pada layar komputer, mengkerutkan dahinya kuat. "Aku tidak memiliki janji temu dengan klien hari ini."

"Kurasa pria itu bukan klien, dia ingin menemuimu secara pribadi." Ujarnya singkat, memperjelas keadaan. "Ah, ya, ini berkas yang sudah selesai direvisi oleh team. Apa ada dokumen lain yang harus diperbaiki lagi sunbae?"

Yeeun menggeleng ringan, wajahnya terlampau serius memikirkan kemungkinan perihal siapa yang mendatanginya.

"Kau bisa kembali sekarang." Jawabnya tegas, pun langsung junior berkaca mata itu membungkuk memberi salam, kemudian berjalan keluar ruangan.

Sedikit berbenah, Yeeun harap untuk hari ini saja ia dapat tenang menyelesaikan pekerjaannya dan kembali kerumah dalam keadaan yang menyenangkan.

Siapapun dan apapun yang menunggunya, Yeeun harap dirinya dapat lebih kuat untuk menghadapinya.

Menyingkat waktu untuk menuruni tangga dibangunan bertingkat lima itu, Yeeun memilih menggunakan lift.

Sesampainya ia dilantai dasar, ia segera mempercepat jalannya untuk memasuki area lobby. Tanpa disangka, keadaan riuh, beberapa pegawai berkumpul seolah sedang mengelilingi sesuatu.

Dengan sigap, Yeeun berlari-lari kecil membuat keributan saat sepatu tinggi miliknya bergesekan dengan dinginnya lantai.

Deg!

"Seokjin!" Yeeun berteriak ketakutan kala pria itu terbaring lemah bersimbah darah, sebuah pisau menancap diperut sebelah kirinya.

Ia mendekat, dan beberapa orang yang berusaha membantu posisi Seokjin sedikit memberi ruang pada Yeeun dengan membiarkan kepala Seokjin terbaring diatas paha Yeeun.

Yeeun masih belum mengerti dengan situasi. Semuanya terlalu menyeramkan. Ia kemudian mengedarkan perhatiannya pada seluruh karyawan kantor yang menyaksikan adegan mereka.

"A-Apa yang terjadi? Kenapa kalian diam saja?! Panggil ambulance!" Sahutnya sedikit tergagap-gagap, selaras dengan air matanya yang tak berhenti untuk mendesak keluar.

Salah seorang yang satu divisi dengannya, mendekat kearah Yeeun berusaha membuat wanita itu tenang. "Kami sudah memanggil polisi dan ambulance untuk kemari, kau jangan panik. Itu hanya akan memperkeruh suasana."

"Bagaimana caranya untuk tidak panik setelah melihat seseorang tertusuk seperti ini?!" Yeeun tersulut emosi. Ia sedang tak ingin mendengar kalimat yang membantunya untuk tenang, ia hanya ingin segera membawa Seokjin kerumah sakit untuk mendapatkan tindakan.

Tidak ingin membuat suasana hati Yeeun semakin kacau, wanita berbola mata gelap itu, hanya mengelus lengan Yeeun perlahan.

Dan Yeeun kembali teralih pada Seokjin yang kesadarannya masih dapat terkendalikan, meski tubuhnya seolah mati rasa sekarang.

Namun mendapati Yeeun berada dikondisi sulitnya seperti ini, menjadi bagian dari yang mengkhawatirkannya membuat Seokjin menjadi yang teristimewa, sudah lebih dari cukup.

Melihat wajah wanita itu mencemaskan keadaannya, menggenggam erat jemarinya, menitihkan air matanya untuknya, dan tetap berada disisinya adalah fakta yang membuat Seokjin tak keberatan apabila Tuhan ingin mengambilnya sekarang.

Bahkan wanita itu sekarang menyerukan namanya dengan suara yang bergetar. Bukankah amat melegakan saat orang yang ia cintai tetap berada disisinya?

"Seokjin-ah, mari bicara denganku, eoh? Jangan menutup matamu, araseo?"

Seokjin tersenyum lebar, beberapa kali berusaha mengedipkan mata dan tetap dalam keadaan sadar. "Eoh, kau cantik hari ini."

"Apa rasanya sakit? Ambulance sebentar lagi tiba, ku mohon tetap terjaga." Yeeun tak menghiraukan kalimat yang keluar dari mulut pria itu, kecemasannya lebih besar daripada omong kosong Seokjin.

Seokjin terkekeh ringan, kemudian setelahnya terbatuk dan merasakan perih yang luar biasa dibagian perutnya yang tertusuk, membuat air mata Yeeun semakin deras mengalir.

"Ya! Kenapa tertawa?! Tidak ada yang lucu!"

"Sampai kapan akan mengabaikan pujianku?"

"Sampai kapan akan egois seperti ini, aku mencemaskanmu Seokjin! Kau tertusuk! Pisau menancam diperutmu!"

Seokjin kembali terbatuk, dan rasanya sangat menyesakkan, meski Yeeun tak dapat merasakannya. "Jangan memperjelasnya Yeeun, kau membuatku takut."

"Berhenti bicara omong kosong!"

"Kau menyuruh ku agar tetap berbincang denganmu."

Pun Yeeun menangis tersedu-sedu, entah sampai kapan ia harus sabar bertahan.

Hatinya tidak sekuat baja, dan ia memiliki titik jenuh untuk itu.

"Jangan bercanda Kim Seokjin, aku mohon."

Kembali pria itu terbatuk, bahkan sekarang mengeluarkan cairan merah segar. "Yeeun-ah kau tidak boleh menangis, kau kekasihku, aku mencintaimu, maafkan aku sayang."

Yeeun merespon dengan gerakan kepala. Mungkin yang keluar dari Seokjin sebuah kalimat romantis, namun jika itu diucapkan dalam situasi seperti ini, Yeeun merasa itu adalah hak terakhir yang dapat ia dengar.

"Sayang, maafkan aku tidak bisa menemanimu hingga akhir waktumu, mungkin Tuhan ingin dirimu dijaga oleh hati yang lain. Jika saat itu tiba, berbahagialah. Aku mencintaimu Im Yeeun, sangat mencitaimu." Seokjin mengambil nafas dalam-dalam, karena udara seolah memadat, dan ia mulai kesulitan bernafas.

"Tetaplah sehat, dengan begitu aku akan tenang. Terimakasih tetap ada pada akhirku, wanitaku."

bersambung...

Moon | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang