"Jisoo, Kau tak apa?" Pertanyaan Seulgi membuat Jisoo menoleh. Ia menatap sahabatnya beberapa detik, kemudian menggeleng pelan. Jisoo tersenyum kikuk lalu melihat layar ponselnya.
"Aku baik-baik saja."
"Jadi jalan dengan yang lainnya, kan?" Seulgi berdiri sambil mengendong tasnya. "Kebetulan kita hari ini kita sekolah hanya setengah hari. Kalau sore kan, kau tak pernah bisa ikut."
Jisoo melihat jam dinding. Ya, baru pukul satu siang. Biasanya Jisoo pulang pukul lima sore, dilanjutkan dengan les bahasa inggris, Jisoo baru sampai ke rumahnya pukul tujuh malam.
Sekarang Jisoo masih punya waktu bermain, sebentar.
Setidaknya. Jarang-jarang ia punya waktu bebas seperti sekarang.
"Iya." Jisoo berdiri, ia tersenyum lebar. Sudah lama sekali sejak Seulgi melihat sahabatnya menunjukkan wajah seceria sekarang.
Ya, mereka sudah lama bersama sejak kecil.
Tapi, setelah kejadian nahas empat tahun lalu, Seulgi sulit sekali melihat Jisoo mengulas senyuman lega.
Ya..
Semuanya.. diawali saat Jennie.. nyaris mati untuk menyelamatkan Kim Jisoo.
.
"Matikan saja ponselmu." Seulgi memberi saran saat Jisoo akan melihat ponselnya. Seulgi sedang menyetir, Jisoo duduk di jok samping pengemudi.
"Bagaimana kalau Jennie menelpon?" Tanya Jisoo parau. Tangannya gemetaran. "Aku--"
"Matikan, Jisoo. Kau juga butuh udara bebas, oke? Sehari saja." Seulgi selalu dibuat khawatir. Hubungan yang mengikat Jisoo dengan Jennie sejak awal memang tidak sehat. Seulgi bahkan tidak pernah menyukai mantan adik kelas mereka itu sebelum akhirnya Jennie memutuskan pindah.
Menurut Seulgi, Jennie tidak pernah membiarkan Jisoo menghirup udara bebas. Ia selalu menjadi bayangan, mengingatkan Jisoo kalau cacat yang saat ini Jennie derita, semuanya untuk menyelamatkan Kim Jisoo.
Jisoo menurut, ia mematikan ponselnya. Jisoo bertanya lagi, "Aku.. apa yang aku lakukan sekarang.. benar, kan?"
"Hm," Seulgi mengangguk. Ia mengusap kepala Jisoo sekilas. "Aku.. justru berharap kau bisa lari sejauh mungkin darinya." Seulgi mencengkram stir dengan kuat. "Dia.. layaknya psikopat."
"Jennie tidak seperti itu." Jisoo meralat. Ia menunduk lagi. "Jennie itu.. dia baik, lembut, dan perhatian. Dia benar-benar menyayangiku. Kalau sekarang dia lebih membutuhkanku, selalu ingin aku ada disisinya.. Itu wajar, bukan?"
Jisoo tersenyum kosong. "Aku yang buat dia tak bisa hidup normal lagi. Jennie punya cita-cita jadi pemain basket profesional, dia juga pandai berenang, dan beberapa kali memenangkan perlombaan. Jennie pandai bermain tennis dan bulu tangkis. Tapi gara-gara aku--"
"Bukan salahmu, Jisoo! Dia--"
"Itu memang salahku!" Jisoo menjawab cepat, setengah berteriak. Membuat ketiga temannya yang berada di belakang terkejut. Jisoo tersenyum, lalu menunduk lagi. "Semuanya salahku.."
Sampai kapan Jisoo akan seperti ini? Sudah lima tahun berlalu. Sayangnya karena Jennie kehilangan fungsi satu kakinya, Jisoo tak bisa melakukan apa pun selain menuruti keinginannya.
Jisoo berjanji, ia akan menjadi kaki untuk Jennie agar sosok yang sudah seperti adiknya sendiri itu tetap bisa melangkah normal.
Tidak, status mereka sudah lebih dari itu. Sejak tahun lalu, mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih.
Seulgi tak bisa mengatakan apapun. Suasana semakin tak enak. Sebaiknya ia mengalihkan pembicaraan.
"Ah, sebentar lagi kita sampai di tempat karaoke." Seulgi berkata ceria. "Kita nyanyi dulu, untuk melepas stres menjelang UN. Setelah itu kita makan, bermain ke timezone. Pokoknya hari ini kita semua wajib bersenang-senang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Evren (Jensoo Short Story)
FanficJust Oneshot, Twoshot or Threeshot Kim Jennie X Kim Jisoo.