Heartbreak

902 72 3
                                    


"Kenapa dia pergi? Apa dia benar-benar tidak mencintaiku?"

Untuk kesekian kalinya, pertanyaan-pertanyaan konyol itu meluncur bebas dari bibirnya.

Tak ada jawaban. Aku hanya diam sembari melihat wajahnya dari samping. Tak ada lagi rona bahagia di wajahnya. Pipinya kian menirus. Senyum manisnya menghilang semenjak sang pemilik hati memutuskan untuk meninggalkan.

Ia menoleh, bersitatap denganku. Maniknya berkaca.

Aku masih diam. Aku benci. Aku benci tatapan itu. Aku tau arti tatapan itu.

"Mengapa tuhan tak mengabulkan doaku? Mengapa ia tak kunjung kembali?"

Aku masih membisu. Perlahan aku mendekat, mendekap tubuh rapuh itu.

"Pelukanmu hangat. Sama sepertinya."

Kupejamkan kedua mataku. Hatiku berdenyut ngilu. Sedang ia terus meracau.

Jisoo-ya, kapan kau melihatku? Padahal aku selalu disini bersamamu. Kapan kau bisa melupakannya?

Lagi-lagi kata mengapa keluar dari bibirnya. Ia terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang sama. Setiap malam.

Kerlipan bintang dan langit malam seakan menertawakan kebodohan kami.

Aku dan Jisoo, kami berdua adalah dua orang yang bodoh. Tapi diantara kami berdua, akulah yang paling bodoh. Batinku tertawa.

Tentu saja, ia bersedih untuk orang yang tepat. Seseorang yang ia cintai dan pernah mencintainya walau akhirnya memilih pergi. Setidaknya, alasannya bersedih sangat masuk akal.

Sedangkan aku, bersedih hanya karena cinta tak terbalas. Bersembunyi dibalik kata persahabatan, membuatku lebih menyedihkan.

Menjadi orang dungu oleh kata cinta. Padahal, dulu aku tidak peduli tentang perasaan.

Tetapi semenjak mengenal gadis ini, Kim Jisoo, seseorang yang memgajarkanku betapa hebatnya sebuah rasa yang bernama Cinta.

Aku terlalu dalam mengagumi sosoknya. Hingga melupakan bahwa ia juga mengagumi sosok yang lebih sempurna.

Bodoh.

Aku bahkan tak pernah merasa marah atau kecewa. Malah menikmati bening bening yang meluncur dari kedua bola matanya. Mendekap tubuhnya, walau kata-katanya terus menghujam hatiku. Terus berusaha menenangkan jiwanya, walau diriku sama kacaunya.

"Aku mencintainya. Sangat."

Aku tahu. Sangat tahu.

"Dia juga mencintaiku. Tapi, mengapa ia malah meninggalkanku sendiri?"

Kau tidak sendiri, Jisoo!

Ingin aku meneriakinya. Tapi aku sadar, itu hanya akan membuatnya semakin jauh dariku.

"Aku merindukannya."  Hentikan tangismu, sayang.

"Aku selalu bermimpi, dia memelukku setiap malam. Ia tersenyum menyambutku membuka mata. Aku memeluknya begitu erat. Sungguh, aku takut kehilangan dirinya untuk kesekian kali."

Seperti biasa, ia menceritakan mimpi-mimpinya yang hampir sama setiap malam. Bahkan di dalam mimpi pun, ia menjadi orang yang berhasil meraih hatimu.

Bolehkah aku egois?

Jisoo, bisakah kau memimpikanku? Tidak perlu menjadi sosok seperti dia. Hanya sebatas bayangan melintas yang membuatmu tersenyum dalam tidurmu saja, aku sudah lega.

Setidaknya, aku adalah salah satu orang yang memasuki alam bawah sadarmu. Bukan hanya dia.

"Aku juga takut seseorang pergi dariku."

Ada rasa sesak saat mengatakan itu. Aku takut, ketika semuanya mulai menjadi jelas, mengabur lalu hilang dari jarak pandang.

Hanya bayang-bayangnya yang mampu membuat tidurku lelap. Hanya dirinya dan tentangnya. Seseorang yang sangat dekat. Bahkan hanya dengan sekali gerakan aku dapat merengkuh tubuhnya. Tanpa penolakan.

Ia dekat, namun terasa sangat jauh.

"Apa aku saja yang menemuinya? Ini sudah sangat lama. Ia juga terus datang ke mimpiku. Apakah ini pertanda bahwa ia juga merindukanku?"

Tidak!

Dengan cepat aku melepas pelukan. Aku menatap matanya dengan isyarat agar ia tak lagi mengatakan hal seperti itu lagi. Ia membuatku ingin menangis.

"Jisoo, kumohon.. Jangan berkata seperti itu." Pintaku lirih. Sungguh, sesak sekali.

Sebesar itu pengaruh cinta hingga membuat terlihat begitu menyedihkan seperti sekarang.

Tawa cerianya, tingkah konyolnya, mendadak hilang entah kemana.

Segala sifat dan sikap yang menjadi canduku, telah hilang seiring sang penyemangat hidupnya yang menghilang.

Aku tidak tahu harus berkata apa.

Marah pada dia yang meninggalkan Jisoo begitu saja, atau menyumpahi diriku karena telah begitu membenci sosok dia yang begitu disayangi Jisoo.

Perasaan ini membuatku menjadi sosok begitu egois.

"Sakit sekali, ini sangat sakit. Aku begitu Merindukannya."  Ucapnya dengan isakan kecil yang membuat hatiku merasa perih yang luar biasa.

Ia menepuk dadanya, seakan ingin melepaskan rindu yang membelenggu. Aku menangis. Kenapa harus Dia yang menjadi obat untuk segala lukamu? Kenapa bukan diriku?

"Aku merindukannya, Seul.. Aku sangat merindukannya. Bagiku, hanya Dia. Satu-satunya yang dapat membuatku bahagia."

Kutekan nyeri didadaku. Mendengar Jisoo mengatakan itu, rasanya masih sama. Padahal ia telah mengatakannya hampir setiap malam saat seperti ini.

Sebesar itukah cintamu kepada dia, Jisoo?

"Bisakah kau melupakannya saja, Jisoo?"

Jisoo menggelengkan kepalanya, kedua matanya sembab dengan hidungnya yang memerah.  Ia menepia tanganku kasar lalu mendongak ke arah langit. Menghiraukanku yang sudah pasti terlihat menyedihkan.

"Aku tidak bisa. Aku tidak bisa melupakannya."  Lirihnya lagi.

Menyedihkan. Aku hanya dapat tersenyum kecut sembari menganggukkan kepala. Berusaha untuk mengerti lagi dan lagi.

"Aku hanya mencintai Jennie. Aku sangat merindukannya. Merindukan tawanya, tingkahnya, dan semua hal tentangnya. Aku selalu merindukan segala hal yang ada padanya. Sejauh mana pun ia pergi, aku akan selalu mencintainya."

Kau sangat beruntung, Jennie.

.

Kim Jisoo ternyata benar-benar bodoh.

Aku tak menyesal mengatakan ini. Kupikir, ia hanya akan mengatakan menemui Jennie. Bukan benar-benar melakukannya.

Aku tertawa. Namun mataku terasa panas.

Ketakutanku benar-benar menjadi kenyataan. Ia hilang dari jarak pandangku. Ia benar-benar menyusul Jennie. Ia sungguh membuktikan ucapannya. Jisoo.. Benar-benar mencintai Jennie.

Cinta?

Lagi-lagi aku tertawa.

Kupandangi wajah damainya. Jisoo terlelap. Wajahnya begitu tenang, bahkan samar-samar kulihat bibirnya melengkung.

Jisoo.. Dia bunuh diri pagi ini.

Sejenak kupandangi pisau yang berada di dekat tangannya.

Haruskah aku juga menyusulmu, Jisoo?

Fin.

Evren (Jensoo Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang