22: Tumpahan Sup pada Aurora

35 13 3
                                    

Aku menutup buku, tertatih kembali ke ranjangku.

Bersamaan dengan itu, ibu masuk. Tangannya membawa segelas susu dan semangkuk sup yang penuh kepulan asap.

Aku tertegun, sedikit takjub. Maksudku, aku benar-benar tidak menyangka ini terjadi. Seumur hidup otakku bekerja, sekeras apapun aku mengaduk memoriku di sana, aku tidak ingat ibu pernah seperti ini.

Seketika, kesadaranku kembali dan aku mulai memikirkan hal baru. Mengapa ibu melakukan ini?

Oh. Benar juga.

Kemungkinan yang paling masuk akal adalah, ibu ingin membicarakan hal penting. Dan tentu saja membutuhkan perhatianku.

Aku berterima kasih sambil menerima mangkuk yang masih panas. Ibu duduk di tepi ranjang, memilih tidak menatapku.

Aku makan dalam keheningan.

Ah, siapa peduli.

Sebenarnya, hatiku cukup tersentuh. Tapi entah mengapa aku tidak yakin pada hatiku sendiri. Seharusnya aku bisa jujur pada diriku: aku terharu. Seharusnya mudah untuk mengakuinya, tapi berkali-kali 'monster' ini membisiki kalau mungkin saja, ibu jadi lebih perhatian  padaku karena punya maksud tertentu.

Sialan! Dalam hati aku menggerutu. Otak kadal ini benar-benar tidak mau hilang!

Tiba-tiba, ibu menghela napas panjang, seolah ingin mengempaskan bebannya yang menggunung, "Afya,"

Aku menoleh menatapnya.

Ibu kembali terdiam, ia menghindari tikaman irisku yang menunggu.

"habiskan supnya! Susunya juga! Tinggalkan saja piring kotornya di atas nakas," ibu beranjak, "Setelah itu, istirahatlah! Ibu akan mengurus surat izinmu."

Kemudian pintu ditutup. Langkah ibu bergema di sepanjang koridor lantai dua.

Aku membisu. Tidak habis pikir mengapa ia menggagalkan niat awalnya. Aku tahu ibu bukannya ingin repot-repot menasihatiku seperti itu. Ibu ingin membicarakan hal lain.

Yah, bisa saja aku membaca pikirannya. Tapi aku tidak mau. Aku lelah hari ini.

Sup di hadapanku mendadak hambar. Kuletakkan sendok, meraih gelas susu dan meneguknya sedikit, lantas meletakannya di atas meja belajarku.

Kemudian tidur.

***

"Afya?"

Aku berbalik dan mendapati Charlotte yang keluar dari ruang olahraga, membawa bidak catur. "Wah, apa kau sudah pulih? Kukira hari ini kau masih tetap akan izin sekolah."

Aku hanya tersenyum masam. Kami melangkah bersama ke kelas.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

"Ehm, kurasa ... lebih baik," aku ragu, "terima kasih, ya."

Gadis itu tersenyum manis, "Kau berterima kasih terus. Oh iya, sudah kaubuka buku hariannya?"

Eh?! Mendadak, aku diselimuti kecanggungan, "Ah, itu ... aku ... kurasa aku, kemarin mencoba menulis di sana,"

"Wow! Itu bagus sekali!"

"Tapi," bantahku, "aku sungguhan tidak tahu bagaimana cara menulis jurnal yang benar."

Charlotte tertawa, "Kau tidak perlu itu. Tidak akan ada yang menuntut soal bagaimana seseorang menulisi diarinya. Lakukan saja sesukamu!"

Aku hanya mengangguk samar. Kami berbelok di belokan terakhir sebelum mencapai koridor kelas.

TransferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang