v

674 191 8
                                    

Bola berwarna jingga itu menggelinding jatuh kearah kaki panjang Younghoon. Membuat pemuda itu melirik kearah Juyeon yang sedang berusaha berdiri untuk mengambil kembali bola basketnya.

"Jangan, biar aku aja," katanya dengan napas terengah. Bangkit dari duduk bukanlah hal yang mudah untuknya.

Younghoon mengangguk kecil dan kembali mengotak-atik kamera polaroidnya. Matanya sesekali melirik kearah adiknya yang sedang mendribble bola tersebut.

"Kakak nggak olahraga?"

Younghoon terkesiap. Memang dia sedang malas berolahraga akhir-akhir ini. Bahkan ajakan olahraga dari Sangyeon yang seringkali tak bisa dibantah tetap membuatnya enggan berolahraga maupun sebentar.

"Mungkin nanti. Aku agak malas," jawabnya pada akhirnya.

Juyeon mengangguk. Dengan penuh perjuangan, ia menyeret keranjang yang berisi macam-macam bola milik Eric dan Sunwoo ke ujung halaman yang lain.

"Butuh bantuan, Yeon?"

Younghoon kembali bersuara, menawarkan bantuan kepada adiknya. Namun ia sudah menduga akan mendapatkan gelengan kepala oleh pemuda tenang itu.

Walau Younghoon tahu bahwa sebenarnya laki-laki itu butuh bantuan, ia tetap saja mengangguk mengiyakan.

Ia hanya.. tidak mau adiknya merasa membebani.

"Hey, Yeon," panggil Younghoon lagi. Ketika Juyeon yang sedang mengusap peluh menoleh kearahnya ia melanjutkan ucapannya. "Mau minum kopi?"

Pemuda berambut hitam-biru itu menggeleng pelan seraya tersenyum kecil.

Pantangan untuknya setelah meminum vitamin daya tahan tubuh dari Sangyeon adalah, dilarang mengonsumsi kopi, teh atau minuman berkafein lainnya.

"Okay." Younghoon segera berdiri meninggalkan Juyeon yang masih sibuk dengan bola basketnya di halaman belakang rumahnya.

Meninggalkan pemuda itu berdua dengan sebuah radio milik Jacob yang sayup-sayup memberitakan pertandingan basket antar kota yang sedang ramai dibicarakan.



Mata Juyeon menatap langit biru diatasnya yang penuh awan. Pikirannya terlempar ke memori setahun yang lalu.

Ketika semuanya terasa sangat menyesakkan untuknya.

Hingga ia merasa hampir gila.
































"Kalau aja aku nggak cacat, mungkin aku bisa ikut lomba itu."

***

"Sejak kapan sih Eric bisa diem? Dunia bakal kebalik kalau memang Eric jadi pendiem seharii aja."

Suara Haknyeon yang sebal akibat tingkah adik bungsunya itu memenuhi ruang tengah yang lebar. Sementara Eric, oknum yang dibicarakan hanya memamerkan cengiran lebarnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Jadi diem juga nggak asik, Kak. Ngebosenin," balas pemuda yang mengubah warna rambutnya menjadi putih-perak itu. "Kayak Kak Juyeon tuh. Ya kan kak?"

Juyeon yang mendengar namanya disebut lantas tersenyum kecil. Mulut adiknya itu memang kelewat lepas.

Walau terdengar agak menyakitkan, setidaknya Eric jujur. Tidak seperti keluarganya yang terus saja berbohong tentangnya.

Tentang keadaannya.

"Nggak sopan," sahut Sunwoo yang mengambil tempat disampingnya. "Kalau mau pukul, pukul aja kak. Emang mulutnya nggak bisa di rem."

Eric menjulurkan lidah kearah Sunwoo, kemudian mendudukkan diri disamping Juyeon.

Ia membuka mulut. Hendak bertanya kepada kakaknya itu.

"Kakak kenapa sih serius betul? Emang itu konsep hidup kakak apa gimana?" Tanya Eric polos.

Juyeon terkekeh pelan. Haknyeon dan Sunwoo ikut menatapnya seolah meminta jawaban, membuat pemuda itu harus menjawab pertanyaan adik bungsunya tersebut.

"Bukan. Mungkin lebih ke pelampiasan? Sebelumnya kakak sudah serius masih aja gagal, jadi mungkin itu sebabnya jadi kebawa paska kejadian itu."

Juyeon beralih menatap jemarinya yang memiliki kuku pucat. Ia menghela napas sebelum akhirnya berucap,























"Kejadian dimana semuanya jadi begini. Kejadian yang bikin cacat ini semakin menjadi-jadi rasanya."

Setelah mengucapkan itu, setetes cairan bening keluar dari sudut mata kirinya.

***

"Pelan-pelan ngangkatnya, Juyeon. Nanti jatuh nimpa kakimu," ucap Jacob sambil mengelap piring dimeja makan.

Matanya terus saja memperhatikan gerak-gerik adiknya yang sedang berusaha membantunya memindahkan keranjang besar berisi buah keatas meja dapur.

"Iya kak, sudah pelan kok," balas pemuda itu tenang walau otot-otot tangan dan kakinya mulai terasa sakit.

"Sedikit lagi, Juyeon. Sedikit lagi!" Serunya dalam hati.

Brak!

Tangan Jacob bergerak cepat memunguti butiran apel yang menggelinding kearahnya. Sementara Juyeon, berdiri terpaku dan hanya menatap buah kemerahan itu menggelinding kesegala penjuru dapur.

"Udah nggak apa-apa, kamu kan nggak sengaja," ucap Jacob menenangkan Juyeon yang sontak terduduk didekat meja dapur sambil menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya.

Melihat apel-apel yang semula mulus dan tidak bercela, kemudian karena dirinya apel-apel itu menjadi rusak dan beberapa bahkan terpecah karena tertimpa box kayu itu.

Juyeon.. seperti melihat dirinya sendiri.

"Gak apa-apa, pecahnya sedikit kok. Ayo bangun, gak boleh sedih gitu." Jacob berusaha membujuk adiknya yang mulai terisak tertahan.





























"Kenapa.. aku nggak pernah bisa nunjukkin kalau aku nggak lemah karena sakit ini? Laki-laki kayak aku ini nggak berguna. Gara-gara..

gara-gara cacat ini."

[0] Sangyeon's House: A Puzzle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang