Two

16 5 8
                                    

Namanya Sillia. Dia orang pertama yang mengajakku berbincang. Sepertinya Sillia orang yang baik. Tidak seperti...

Teman-temanku yang dulu. Yang suka menjahati ku. Mungkin aku bisa berteman dengannya. Dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

5 Juli 20XX

Perempuan itu menutup buku hariannya.  Dan bersiap untuk menutup harinya dengan tidur.

Tok tok tok

Luen yang tau itu adalah kakaknya, dengan segera ia membukakan pintu untuk satu keluarga yang paling ia sayangi.

Saat membuka pintu, dilihatnya sang kakak sedang tersenyum. Luen mengerutkan dahinya karena tidak paham maksud dari senyuman Ruen tersebut. Melihat Luen yang tidak peka maksud senyum yang ia berikan, Ruen malah memperlebar senyumannya dan memperlihatkan gigi putihnya. Gakaya lu, kuning.

Luen menaikkan satu alisnya. Benar-benar tidak paham!

Ruen menghela napas kesal. Kembarannya ini tidak bisa diajak peka. Akhirnya ia yang mengalah dan berbicara, "didalem"

Ruen berjalan masuk ke kamar Luen. Memang kamar Luen terlihat sangat rapi. Berbanding jauh dengan kamarnya yang urak-urakkan.

Luen mengikuti Ruen. Ruen duduk diatas sofa. Luen pun ikut duduk di atas sofa.

Ruen mengembangkan senyumannya lagi. "Gimana tadi sekolahnya?"

Aiya, Luen lupa mengambil buku mininya. Jangan lupakan pensilnya juga.

Biasa aja

Ruen menaikkan satu alisnya saat membaca tulisan kembarannya itu. "Kenapa? Kok biasa aja? MOSnya masa nggak ada yang istimewa? Enggak ada yang berkesan gitu? Atau masa kamu belum punya temen?" tanya Ruen bertuntun. Dasar kepo!

Luen mengerutkan dahi dan bibirnya. Ia mulai berpikir bagaimana menceritakannya pada saudaranya yang memiliki jiwa kepo tingkat akut.

Akhirnya ia terpikirkan sesuatu.

Oiya, tadi ada satu orang yang kenalan sama aku. Aku pikir dia baik sama friendly. Mungkin aku bisa temenan sama dia.

Mata Ruen berbinar. "Wuih, namanya siapa? Cewek apa cowok? Tinggi apa pemdek?"

Luen memasang muka masam. Kakaknya yang satu ini kepo sekali sih. Ruen paham arti mimik muka dari kembaran kesayangannya itu hanya meringis.

Namanya Sillia. Baik banget dia. Ceria lagi.

Ruen pun mengangguk-angguk tanda paham. "Terus.... Dia bisa di manfaatin kan?"

Luen menyeringai. Sedetik kemudian ia mengangguk. Tapi tak lama ia menulis kembali di buku kecilnya.

Mungkin. Dia keliatannya bodoh

"Bagus. Kamu harus buat dia nyaman sama kamu,"

Luen mengangguk.

Ruen pun berdiri. Merapikan piyamanya yang kusut. Dan tak lupa mengacak rambut kembaran tercintanya itu. Itu sudah menjadi seperti hobi wajib yang harus di laksanakan sebelum mereka berpisah.

"Yaudah, kamu bobok gih, besok kan sekolah. Kakak mau bobok juga, dadah, selamat malam. Mimpi indah bebi," tak lupa juga, Ruen mengecup kening Luen. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil.

Luen kembali mengangguk. Walau mukanya kecut.

Saat Ruen sudah menutup pintunya, Luen beranjak menuju ke tempat tidur dan mentup harinya dengan mimpi indah yang akan menjemputnya.

⬛◼⬛

"Dek, inget pesen kakak tadi ya," Ruen mengusap kepala Luen. Membuat mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang romantis.

Luen mengangguk. Dari pada ia kena masalahkan?

"Yaudah, kakak pergi dulu. Dadah,"

Motor nya dengan cepat melesat. Luen menghela napas.

Tak lama kemudian, ada suara yang memanggil namanya.

"LUEN!!"

Luen mencari cari sosok tersebut.

"LUEN WOYYY! DISINI!"

Luen mencari asal suara itu. Dan akhirnya ia menemukan orang tersebut diantara para murid. Luen segera menghampiri orang tersebut. Kemudian ia mengeluarkan alat komunikasinya selama ini.

Buku kecil kesayangannya.

Kamu ngapain disini?

Orang tersebut hanya tersenyum. "Ngehe, kan biar kita bareng masuknya,"

Sillia, semoga kamu kuat

⬛◾◼

Tet~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LUEN: My Inner VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang