"Park Jiyeon dimana kopiku?"
"Park Jiyeon, dimana laporan yang aku minta?"
"Park Jiyeon ambilkan jasku!"
"Park Jiyeon-!"
"Park Ji-"
Aku hampir membanting keyboard di depanku jika bukan karena kesabaran yang sudah terlatih selama tujuh tahun belakangan ini.
Segala tipe bos yang aneh, dari genit sampai galak tujuh turunan, atau berkarakter sanguinis, sampai koleris kritis-tis-tis.
Tapi yang satu ini bukan hanya kombinasi jelek koleris pragmatis, tapi galak, kolot dan setan dijadikan satu dalam wajah rupawan.
Sayang seribu sayang. Aku ingin mengumpat.
"Iya bos." Aku masuk ke ruangannya dengan sopan. Bekas jahitan di pinggangku terasa gatal-lagi.
"Buat reservasi di restoran Prancis, tak perlu jauh, ada kolega Jepang kita yang akan datang."
"Baik, bos. Pukul berapa?"
"Itukan tugasmu sebagai sekretaris untuk menyesuaikan jadwalku."
Kan, mulai.
"Bos, kalau boleh aku beri saran. Bisa kau berikan komando spesifik, jadwalmu sangat padat, mungkin kau lebih prefer saat jam makan siang, makan mal-"
"Enough! Cukup atur setelah jam makan siang. Kau cerewet." Ujarnya dingin.
Dan kau seperti setan bos. Tapi aku hanya mengatakannya di dalam hati jadi tidak ada yang dengar.
"Right away," aku segera keluar dari ruangannya untuk mengerjakan tugas.
Percaya deh, bekerja dengan Ji junior lebih buruk ketimbang Ji senior yang meski sudah tua tapi keladi.
Dia tahu caranya memperlakukan perempuan meski menatapku dengan tatapan genit yang-sumpah-aku ingin mencolok matanya.
But he know how to say thank you.
Ji junior hanya tahu, aku yang menggajimu.
Sultan. Bleh.
.
.
."Aku ingin resign."
Jieun menatapku, lalu mengambil gelas dan menggunakan sebuah spidol untuk menulis sesuatu.
Hwaiting dengan smiley face yang menggelikan.
Aku gantian menatapnya yang meracik Vanilla Prince. Kopi favoritku by the way.
"Kau tidak akan melakukannya. Ingat ini sudah ke 7 tahun kalinya kau berkata ingin resign." Jieun bersidekap.
Aku benci dia selalu benar.
She is bossy, and that's why. Dia mantap melepas jabatan jadi manager lalu dari pesangonnya membangun cafe kecil-kecilan dengan nekat.
Dulu orang skeptis dengan kemampuannya, tapi lihat sekarang. Gedung dimana kami bicara adalah cabang ketiganya tak jauh dari kantorku.
Apa aku melamar jadi karyawannya saja?
"Aku tidak akan menerima karyawan sepertimu. Yang ada aku akan rugi memperkerjakan teman sendiri!"
Kan, dia sangat mata duitan.
Baginya teman adalah beban. Bisnis adalah bisnis, teman adalah urusan pribadi. Jadi aku tak bisa berharap pada Jieun.
Ya sudahlah, lagipula aku belum ada pikiran untuk melepas satu-satunya penghasilan yang membuatku masih bisa perawatan walau low budget.
Percaya deh, setelah bekerja, uang sebanyak apapun akan terasa sedikit. Tabiat manusia itu, tamak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Sajangnim (hiatus)
FanfictionKatakan padaku, bos seperti Ji Changwook bisa ditukar tambah dimana? - Jiyeon, sekretaris yang punya keinginan menjadi Sailormoon untuk menghukum bosnya dengan kekuatan bulan. Tak ada yang bisa menolakku - Ji Changwook bos macho yang belum minum oba...