3. Malam Jumat

7 4 0
                                    

Apa yang kamu pikirkan tentang kamis malam? Tepat di tanggal ganjil pada kalender primbon dalam pancawara.

Tentu saja hal yang begitu mistis, bukan? Sudah bukan lagi menjadi hal tabu bagi masyarakat zaman sekarang. Bahwa konon katanya, kamis malam atau lebih tepatnya malam jumat adalah malam keramat.

Sama halnya pula dengan Desa Sajin, malam jumat adalah malam yang paling kentara di setiap minggunya. Terutama pada tanggal ke tiga belas.

Sudah satu minggu lamanya aku melakukan KKN di Desa Sajin ini. Makin hari rasanya makin banyak hal yang belum bisa ku ketahui. Terlalu banyak hal yang di sembunyikan oleh warganya. Terlebih oleh Kepala Desa.

Mereka seperti sengaja menutup-nutupi sesuatu dari orang luar dan bahkan pada pendatang baru. Mungkin saja penduduk pindahan akan tahu dengan sendirinya jika sudah cukup lama berada di sini, tanpa harus di wanti-wanti sebelumnya.

Karena orang sini pikir, dengan masuknya penduduk yang memutuskan untuk pindah sama saja dengan kata lain mereka sudah menetap. Lebih tepatnya, di paksa menetap. Manakala hal-hal aneh mulai terjadi pada mereka.

Tempat ini terpencil sekali, jauh dari keramaian kota. Terhalang oleh luasnya hutan yang mencapai puluhan hektar dan berjarak belasan kilometer dari pusat kota.

Aku sengaja memilih tempat ini untuk tugas kuliahku karena memang dari awal aku sangat penasaran, apalagi ketika aku mengcek lokasi lewat peta web, Desa ini tak tertera di sana.

Aneh bukan?

***

Malam ini tepat pukul 24.30 dini hari. Aku sengaja tak tidur sampai selarut ini. Karena sore tadi ku dengar dari salah satu tetangga, malam ini adalah malam keramat.

Sebelum aku memutuskan untuk berpura-pura tidur, seluruh penerangan di Desa harus di padamkan. Hanya boleh menggunakan lilin dan petromaks.

Aku mendengar suara grasak-grusuk dari luar kamar sebelum aku beranjak dari kasur. Hingga suara itupun hilang, berganti dengan derap langkah kaki dan pintu yang tertutup pelan.

Di rumah ini aku tinggal bersama adik dari Bapak Kepala Desa, Pak Roni namanya. Dia memiliki istri dan dua orang anak lelaki yang masih sekolah.

Setelah dirasa aman, akupun berniat mengikuti seseorang yang keluar dari rumah barusan. Perasaanku mengatakan kalau itu adalah Pak Roni. Mau kemana dia tengah malam begini?

Dengan menggunakan senter dalam hpku, aku melangkah sangat hati-hati. Meminimalisir pergerakan agar tak ada yang tahu aku terbangun.

Rumah ini benar-benar redup, hanya ada dua lilin yang di pasang. Ku lihat keadaan di luar lewat jendela, betapa gelapnya di sana. Ada sedikit rasa ragu menyelimuti benakku. Tapi tetap saja akan kalah oleh rasa penasaran ini.

Aku keluar rumah, berjalan menyusuri jalan utama. Walaupun tak tahu harus ke arah mana aku berjalan. Aku kehilangan jejak Pak Roni.

Petunjuk akhirnya kutemukan, aku mencium bau-bau kemenyan dan instingku langsung mendorongku untuk mengikutinya. Aku mengendus-ngendus mencari sumber dari kemenyan itu.

Dan pyuuuuhhh...!
Aku melihat Pak Roni sedang menyembah sebuah pohon beringin besar dekat area pemakaman, di depan tempatnya duduk bersila terdapat sesajen penuh dan kemenyan dengan asap yang membungbung.

Tak lama dari itu muncul dua orang dari arah berlawanan menghampiri Pak Roni, salah satu diantaranya membawa sehelai kain putih yang lusuh, satu lagi membawa golok yang ia sampirkan di pinggangnya.

Betapa kaget aku menyaksikan ketiga orang itu seperti memohon-mohon pada pohon beringin itu. Bibir mereka juga komat-kamit seperti merapalkan sesuatu.

***

Keesokan harinya aku terbangun di tempat berbeda, ini bukan kamar rumahnya Pak Roni. Bahkan aku tak ingat dengan kejadian semalam yang membuatku terbaring di sini, terakhir kali ketika menyaksikan orang-orang menyembah pohon.

"Udah sadar, Neng?"
Seseorang dengan suara berat dan serak bertanya padaku dari arah pintu. Aku menengok.

"Maaf Akang siapa ya?" alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya karena bingung.

Dia mendekat, mengambil kursi dan menariknya untuk duduk di sebelahku. Lalu tersenyum.

"Neng mah gegabah ya, jangan cari tahu sendiri soal desa ini. Kalau mau tahu itu ya bertanya." jelasnya, membuatku semakin mengernyitkan dahi.

"Eh belum kenalan ya, kenalin saya Rehan, tapi panggil aja Ehan. Jangan akang, saya masih singgel kok." lelaki itu tersenyum lagi.
"Atau AA juga boleh." lanjutnya.

"Sebelumnya maaf nih, saya masih bingung. Ini saya dimana ya, terus kamu siapa?"
"Neng lagi di rumah saya, dan saya cuma orang biasa."
"Tenang Neng, bukan cuma ada saya di sini. Emak sama Bapak saya juga ada kok.

Aku tak berniat bertanya lagi, rasanya sangat berbelit-belit mengobrol dengan lelaki ini. Malah membuatku semakin bingung.

"Jadi, kamu mau tahu seluk beluk Desa Sajin ini?"
Masih bingung dengan siapa lelaki di sampingku ini, seseorang paruh baya muncul dari pintu dan masuk untuk mendekati kami.

"Saya Abah Adang, bapaknya Ehan. Kamu memang pendatang di sini. Tapi ga ada salahnya kan saya cerita, karena sudah jelas kamu kesini tidak berniat untuk menetap. Betul?"
Aku mengangguk ragu.

"Kamu sudah tahu arti nama dari Desa ini?"
Aku menggeleng.

Memang benar, dari awal aku menginjakan kaki di sini. Tak ada seorangpun mau menjelaskan secara detail tentang seluk beluk Desa Sajin. Mereka hanya bercerita garis besarnya saja, termasuk Kadesnya.

"Desa Sajin ini adalah singkatan dari (Sa)sajen (Jin)." aku tercengang, apa katanya? Jin?

"Masyarakat Desa ini tidak sepenuhnya terdiri dari manusia, sebagian dari mereka adalah Jin."
"Di setiap hari ke tiga belas, di tambah itu bertepatan dengan malam jumat. Setiap orang yang ingin mendapatkan ketentraman dan kesenangan hidup harus menyuguhi para Jin leluhur dengan sesajen. Terutama bagi mereka yang ingin kaya raya secara instan. Dengan cara memotong jari tangan mayat yang masih utuh."

Aku membeku, tubuhku seketika merinding.

"Tidak hanya itu, bagi mereka yang ingin memikat lawan jenis harus meminta jimat semar mesem. Caranya adalah dengan mencuri potongan kain kafan dari mayat yang baru 40 hari. Kain itu digunakan untuk mahar pesugihan."

Tiba-tiba saja aku baru ingat tentang kejadian di malam sebelum malam jumat kemarin.

Saat itu aku melihat Pak Roni sedang menggali tanah, entah tanah apa tapi aku yakin itu adalah tanah kuburan. Karena ada sesuatu yang berwarna putih di sebelahnya.

Sepertinya itu makam baru, terdapat beberapa bunga yang sudah melayu dan kering.

Aku bersembunyi di belakang pos ronda yang berjarak agak jauh dari makam itu. Sepertinya itu bukan makam umum, karena hanya ada satu makam di sana.

Lantas aku bertanya pada Pak Adang itu.
"Apa semua warga di sini percaya tentang Jin itu?"
"Ya, sangat percaya, karena sudah banyak sekali yang merasakan kesaktiannya."

Aku semakin kalut, pantas saja di peta web desa ini tak pernah ditemukan. Bahkan selama aku di sini, aku belum pernah melihat ada tempat ibadah, ataupun warganya yang melakukan sembahyang dan berdoa.

"Jangan gegabah kalo tidak mau mati sia-sia di tempat ini. Jaga sikapmu, karena kamu sudah tahu soal ini. Selesaikan dengan cepat tugasmu itu dan segeralah pulang."

Akupun mengangguk paham, dan pamit untuk kembali ke rumah Pak Roni. Aku tak merasa takut sedikitpun, hanya saja aku masih belum bisa mencerna apa yang sudah aku dengar barusan.

Jadi itu adalah arti dari tentang betapa keramatnya malam jumat di Desa Sajin ini?

Selesai....

***





Bandung | 22/05/2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Creepy EverywhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang