Sesuatu

207 15 0
                                    

Tiang- tiang listrik yang terlewat nampak berlalu dari sini. Aku membuka kaca mobil, lalu kembali bersandar diri. Bukannya aku tidak suka ac atau mual karenanya, hanya saja tidak ada yang se- "menyenangkan" terkena terpaan angin sore di wajah, kan?

Sepertinya aku terlalu fokus melihat pemandangan di luar, sampai- sampai tidak sadar bahwa ada sepasang mata yang sedang menatapku melalui pantulan spion tengah mobil. Rasanya beberapa detik berlalu lebih lambat saat "tatapan tidak langsung" kami bertemu.

"Serius banget mbak kayanya?" Christo tertawa, "Ini pertigaan depan kemana nih?" Lanjutnya bertanya.

"Kanan, terus lurus aja. Nanti rumah kedua di kanan, tembok warna abu- abu." Jelasku.

Christo berkendara ke arah yang aku tunjukkan, tak lama kemudian kami sampai di depan rumah Dey. Aku memutuskan untuk turun, sedangkan Christo menunggu di mobil. Bukannya kenapa- kenapa, hanya saja Dey memiliki kakak yang bisa dibilang sangat overprotective, dan kalian mungkin tau apa yang terjadi jika ia tahu Dey keluar dengan cowok, meskipun aku juga akan ikut. Ya mungkin itu juga kenapa Dey masih belum punya pacar sampai sekarang.

Aku mengetuk pintu rumah Dey beberapa kali sampai mamanya keluar.

 "Hoo Chika toh, masuk masuk. Dey masih ganti. Duduk aja dulu," Ucapnya sambil mempersilahkan ku duduk lalu memanggil Dey yang  berada di kamarnya di lantai dua.

"Kak Gabriel kata Dey lagi pulang ya tan?" Tanyaku melihat sekeliling.

"Iya sama pacarnya, sekarang lagi jalan, gatau deh kemana. Chika mau dibuatin minum dulu?" Tante Saktia mengecek beberapa laci di dapur.

"Engga usah tan, bentaran doang juga."
"Emmm tan, temenku satu lagi boleh aku suruh masuk ga?"

"Ya suruh masuk aja Chik, kenapa disuruh nunggu di luar lagian."

"Abis Dey bilang kak Gabriel dirumah, jadi disuruh diluar aja daripada nanti ditanya tanyain malah engga jadi berangkat." Jelasku.

"Temen cowo?" Tanya tante Ariel. Aku mengangguk.

"Yaudah engga apa- apa suruh masuk aja, Gabriel lagi keluar juga sama pacarnya. Berangkatnya juga barusan kok." Sambungnya.

Aku meminta izin untuk keluar memanggil christo yang sedang "vibing" ke lagu yang ia putar di audio mobilnya, lalu kembali ke dalam rumah.

"Oh ini, ganteng ternyata," Tante Ariel mengelap tangan. "Kalian pacaran ya?" Cengirnya.

"Eh e-anu, Em engga kok tan. Dia aja murid baru di sekolah."

Aku melirik Christo, dia hanya menggaruk belakang kepalanya sambil memasang senyum bodoh.

"Maaaaaaaa duluaa-eh pada di sini ternyata." Ucap Dey terpotong setelah melihat kami.

Kami bertiga kemudian berpamitan, lalu segera kembali ke mobil untuk berangkat menemani Christo membeli benih bunga matahari yang ia cari.

Sekitar lima belas menit kami berkendara sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan, toko bunga di ujung kota. Sebenarnya banyak lagi tempat-tempat lain yang lebih dekat, tapi menurut 'survey' yang selama ini kulakukan, di sini lah toko yang menjual tumbuhan dengan kualitas yang bagus dengan harga yang, ya bisa dibilang terjangkau untuk kantong pelajar seperti ku.

Christo berjalan duluan, sedang aku dan Dey mengkutinya di belakang. Entah kenapa memandangnya dari sini membuatku merasa  begitu dekat tapi juga terasa amat jauh di saat yang bersamaan. Melihat pundaknya yang lebar, rambutnya yang menutup leher dan hampir menyentuh mata. Aku merasakan rasa hangat dalam diriku, seperti ada rasa kehadiran akan sesuatu yang tidak asing tapi sudah lama hilang. hampir hilang.

"Ngelamun lagi. Dasar." Dey mengusap wajahku cepat, menarikku keluar dari lamunan.

"Eh iya apa?"

( ON BREAK ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang