PART 13. Pernah Memilikimu

10.2K 875 92
                                    


**Mengandung konten 21 tahun ke atas. Yang belum cukup umur, dilarang mampir baca ya.

Demi kemaslahatan bersama. Terima kasih**

***

*Rumah Vano*

*Vano Pov*

Aku masih mempersiapkan bahan kuliah mahasiswa paska sarjana untuk esok hari. Sudah tiga minggu ini, aku berusaha menjauhi Mariska dan itu adalah rekor terlama hubungan kami merenggang. Hal yang penting bagiku saat ini, adalah empat huruf, W-a-f-a. Kini aku menghabiskan setiap malam, tidur bersama istriku.

Kami tidur dalam arti sesungguhnya. Jika ada yang menanyakan kapan tepatnya aku meminta hakku sebagai suami. Mungkin aku tidak akan punya jawabannya. Padahal sejak awal, aku yang paling menggebu ingin memiliki anak agar bisa mewujudkan keinginan Bunda.

Aku yang pernah berkoar bisa melakukan semua itu, tanpa cinta. Kini, setelah rasa cinta itu hadir karena kami sering menghabiskan waktu bersama. Aku seperti mengalami krisis rasa percaya diri untuk melakukannya bersama Wafa. Aku merasa diriku terlalu kotor untuk merusak kesucian istriku.

"Fa, kapan kamu mau ke kampus untuk mengurus kuliah?"

Aku bertanya, sementara Wafa masih sibuk membaca pesan di ponsel, sambil tersenyum. Pesan dari siapa itu. Aku jadi penasaran. Wafa kemudian menutup ponselnya dan menaruhnya di bawah bantal.

"Aku malu Mas, kuliah sudah lewat dua tahun dari kelulusan SMA. Semester baru sebentar lagi tiba. Aku belum menyiapkan berkas pendaftaran dan belum belajar juga buat ujian. Bukannya mau menolak, mungkin lebih baik aku mengambil kursus saja. Aku bisa kursus dasar tentang P3K atau kursus desain interior. Nanti ilmunya bisa aku bagi ke anak-anak remaja yang belajar ngaji di Masjid komplek."

Aku memindahkah notebook di atas pangkuan ke atas meja di sebelah tempat tidur.

"Untuk mengajar itu nggak mudah, Fa. Butuh sertifikat kompetensi. Dan kalau kamu nggak ada ijazah S1, orang akan memandang sebelah mata."

Aku menatap lekat wajah Wafa dan tiba-tiba saja tanpa ada angin badai, bibirku menyentuh bibir istriku. Kedua tangan Wafa menarik kerah piyama yang kukenakan.

"Mas, lepas..."

Wafa menangis dan berulang kali menghapus jejak bibirku di bibirnya.

Aku terluka. Sebegitu hinakah aku di mata istriku, sehingga dia tidak bersedia untuk kucium.

"Ma.. af...
Maafkan aku, aku hanya terbawa suasana."

Aku pergi keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Aku membuka freezer dan memasukkan kepalaku sejenak disana. Tidak tahukah Wafa, berdekatan dengannya sungguh menyiksa diriku. Hampir saja aku melepas status lajangku di siang bolong.

Dulu, aku hampir melakukannya bersama Mariska. Tapi telepon dari Wafa yang secara tidak langsung 'menyelamatkanku' dari perbuatan zina. Meski aku sadar, aku masih belum bisa lepas dari dosa zina lainnya. Buktinya aku masih menikmati saat Mariska menyentuh bahu dan tanganku. Tapi itu telah berlalu, meski baru dalam hitungan minggu.

Apakah ini takdir untukku, selamanya tidak bisa menyentuh istriku dan mendapatkan hakku sebagai seorang suami. Wafa akan selalu terbayang saat dia melihat aku berdua dengan Mariska. Tapi, bukankah aku masih punya satu kesempatan lagi. Kalau saja dia mau memberiku kesempatan.

Aku duduk di dapur dan membuat es lemon tea. Biasanya aku suka minuman hangat. Tapi kali ini aku berharap, beberapa bongkahan es bisa mendinginkan pikiranku. Masih segar di ingatanku selama beberapa minggu ini, aku begitu menikmati kebersamaan dengan Wafa.

VANO dan WAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang