Shakira Elizabeth. Gadis itu bahkan tidak peduli seperti apa namanya terdengar. Shakira? Seperti seorang penyanyi sexy. Istri pemain bola yang cukup berpengaruh dalam club Barcelona. Elizabeth? Nama seorang ratu Inggris.
Kira—sapaannya—tidak peduli. Kecuali nama itu bisa membuatnya bertemu ratusan idola dalam imajinasinya.
Dalam fantasi kehidupannya.
Kira bisa dibilang seolah Nerd. Orang yang suka membaca (kutu buku—tapi lebih keren) dan nyaris kehidupannya terpengaruh oleh cerita fiksi (fangirl all the time)
Padahal, kalau melihatnya berjalan dikoridor, memeluk buku. Tidak ada yang menyangka dia seorang Nerd. Beberapa mungkin hanya menyangka dia anak pintar yang membawa buku dimanapun dia berada, padahal... itu selalu lebih dari yg mereka pikirkan.
Rambutnya yang coklat muda, ikal dan panjang sepinggang—sangat indah. Matanya berwarna kelabu, dia tidak terlalu tinggi, mungkin 165cm. Umurnya masih 16 tahun. Mungkin beberapa mengenalinya dari kacamata kotak berwaena ungu yang dipakainya.
"Kira!"
Kira menoleh, Alexander Cresh berdiri dihadapannya. Lelaki seumurannya hanya lebih tua 5 bulan berdiri didepannya, dia lebih tinggi 5cm dari Kira. Gadis itu menatap sahabatnya.
Kira bingung bagaimana para gadis menatap Alex dengan tatapan memuja seperti itu? Alex memang tampan tapi dia tidak se.......
(otak fangirl Kira mulai bekerja)
semenggemaskan Percy? TIDAK.
sesarkastis Minho? Oh tentu tidak.
setampan Jace? puft. Mendekatipun tidak!
seromantis Gus? kau bercanda?
sekeren Draco? ha. mimpi saja
sehebat Peter? oh nooooooo
Jadi, kenapa Alex dipuja para gadis? Kira bahkan tidak mengerti dengan pikiran gadis-gadis itu.
"Ehm, Kira?"
"Oh hai!" sapanya. Menatap cowok itu dibalik kacamata kotaknya. "Ada apa?"
"Kau cantik sekali."
Kalau gadis-gadis macam Stella dan Carol (mereka menyebalkan) yang dipuja seperti itu, Kira yakin kedua gadis itu bakalan pingsan.
Kira malah memutar bola matanya, Kira sudah terlalu mengenal Alex. Susah menganggapnya sebagai cowok keren. Walaupun tidak ada yang pernah keren dimata Kira selain tokoh fiksi yang dilihat oleh fantasinya.
"Apa maumu? Katakan saja."
Alex menyeringai, "Kau memang mengenalku. Jadi begini, kali ini aku dapat nilai 30 dalam Matematika—"
"—bukannya memang selalu begitu?" potong Kira.
Alex melotot dan Kira tertawa, "Aku serius, Shakira. Kau pintar. Ranking satu berturut-turut sejak SD. Kumohon?"
Melihat Alex mengeluarkan puppy eyesnya yang sangat aneh dimata Kira karena mata biru kehijauan Alex yang terang menatapnya bak bayi yang memohon.
"Okay. Sepulang sekolah."
Alex mengangguk senang, dia memeluk Kira dan gadis itu hanya tertawa. Beberapa gadis yang melihat tampak iri, tapi sebagian lagi sudah paham.
Kira menganggap cowok ini adalah kakaknya, saudaranya, bahkan terkadang ayah keduanya.
Kira tidak pernah merasakan jatuh cinta, kalaupun dia akan merasakannya, Kira tau betul, cowok itu tidak mungkin Alex.
***
Alex menunggunya diparkiran, nangkring diatas motornya. Kira menghampiri Alex dan langsung naik keatas motor. Alex memakai helm dan memberikan helm pada Kira. Mereka pun melaju keluar dari sekolah.
Rumah Alex dan Kira sebelah-sebelahan. Kadang dengan kebersamaan itu membuat Kira berfikir betapa samanya nasib Nata dan Niki dengan mereka, walaupun, Kira yakin Alex tidak pernah punya perasaan yang sama seperti yang Nata rasakan pada Niki.
"Mommy?" seru Kira sesampainya dirumah. Tadi pagi Mom sudah berencana untuk cuti hari ini, karena mau membuat kue untuk Kira(beberapa hari ini Kira merengek minta dibuatkan kue)
"Halo, sayang." Mom turun dari tangga, begitu melihat Alex, Mom langsung tersenyum lebar dan memeluk cowok itu. Alex tampaknya senang-senang saja.
"Mom, kue dong sama susu atau apa aja." kata Kira sembari naik keatas, dia menatap Alex dengan tatapan : Diam disitu! Bergerak sesenti saja, habis kau!
"Okay, Alex. Harus ditinggal bentar." kata Mom dan menepuk bahu Alex dan meninggalkan cowok itu ke dapur.
---
"Bukan begitu!" kata Kira, dia tidak bisa sabar mengajari Alex, cowok itu dari tadi tidak fokus karena minta belajar sambil menonton pertandingan Real Madrid.
"Aduh, iyadeh. Waduhhhh! Hati-hati!!!!!! Yahhh gol deh."
"Alex...." Kira mengeluarkan suara lembutnya, yang justru membuat Alex berjengit, itu lebih seram dibandingkan jeritan Kira.
"Kira? Minumannya udah jadi."
Kira mengeluarkan dua jarinya dan menunjuk matanya lalu mengarahkannya ke Alex. Alex tertawa, dia menunduk dan mengerjakan soal Kira lagi, walaupun telinganya fokus mendengar nama pemain Real Madrid kala tim itu mulai bersikap menyerang.
Kira membawakan dua mug berisi minuman Cookies Cream (campuran susu vanila dan oreo) juga setoples kue keju. Kesukaan Alex dan Kira.
"Enak nih." kata Alex dan mengambil kue juga minumannya.
"Gak ada, kerjain dulu!" tukas Kira sambil mengambil kue dan mug Alex.
"Udah kok, liat aja." kata Alex, merebut kembali mug dan kuenya.
Kira membiarkannya, mengoreksi pekerjaan Alex dan takjub, dari 10 soal, yang benar hanya 2. Hebat.
Tapi, mereka sudah belajar selama 2 jam. Mungkin saatnya istirahat. Pertandingan akhirnya selesai, 5menit kemudian. Alex sudah merapihkan bukunya.
"Eh, Kira. Katanya besok mau ada anak baru."
"Terus?"
"Dia masuk kekelas kita."
"Terus?"
"Yaaa, kalo cowok, aku bertanya-tanya apa kau bakalan terpesona dengannya."
"Kau meragukan insting cewekku?"
"Bukan! Masalahnya, kau bahkan gak pernah memujiku, atau apalah, padahal aku orang yang berkarisma."
Kira tertawa, sengaja membuatnya kedengaran seperti menghina. "Aku mengatakan apa yang benar. Bukan dusta."
"Kira, apa kau pernah jatuh cinta?"
Hati Kira berdegup cukup keras. Dia sudah jatuh cinta sebanyak ratusan kali, dengan setiap cowok dalam cerita yang dibacanya, setiap cowok dalam fantasinya. Semuanya.
Tapi untuk cowok betulan?.....Kira tidak tau rasanya seperti apa. Beberapa buku juga FF yang dibacanya mengatakan kalau sedang jatuh cinta, kupu-kupu seolah berterbangan dalam perut, mencari jalannya sendiri menuju kehati kecil.
Tapi Kira tidak pernah merasakannya.
"Hmmm... nggak tau deh."
"Wah gawat tuh, bisa-bisa—"
Kira mencubit lengan Alex, dia suka Alex. Sangat suka! Tapi, bukan sebagai cowok yang harus dicintai, Kira menyukainya sebagai saudara yang selalu ada buatnya, bisa bersikap serius, tapi saat itu bisa menetralkan suasana.
to be continued—