Setelah itu, aku mengabiskan waktu dengan Kira, berbicara soal cinta. Gadis ini tidak pernah berbicara soal cinta kecuali aku yang memulainya. Tapi mendengar dia mengatakan hal tentang cinta, itu malah terdengar seperti dia menkopi semua kutipan dalam buku cerita yang selalu dibacanya.
Malam ini, aku memberitaunya soal cintanya. Aku mengenal Kira selama kurang lebih 8 tahun. Sejak SD. Lama sekali, dan aku tau bagaimana pandangannya pada anak laki-laki. Sama. Selalu sama. Tidak peduli apakah mereka lebih tampan dariku atau lebih jelek.
Tapi kali ini, tatapannya pada anak baru, si Jack berbeda. Aku sedikit merasakan lagi bara api sialan itu dalam benakku. Tapi, aku menghempasnya jauh-jauh.
Kira bilang dia hanya kagum pada Jack, tapi sejujurnya, aku tau dia akan lebih dari pada kagum. Jadi aku pancing dia untuk mengatakan yang lebih dari itu.
Aku berharap, berharap dalam setiap tutur kata yang aku keluarkan. Berharap sebaliknya. Tapi... hasilnya malah Kira ternyata memang lebih dari kagum.
Keesokan harinya, aku ingin mengembalikan buku catatan pada Kira. Tapi gadis itu sedang mandi. Tidak enak rasanya langsung masuk ke kamarnya, tapi Aunt Selen bilang kalau Kira mandi dibawah. Jadi aku berani masuk.
Meletakan catatan Kira dimeja belajarnya, kemudian aku melihat kertas yang persis sama. Kertas yang jatuh dari tangan Jack itu sekarang ditempel oleh Kira di mading yang dibuatnya di dinding.
Sepenting itukah Jack untuknya? Hanya karena dia mirip dengan Newt?
Aku keluar sesegera mungkin, berharap Kira tidak melihatku. Sesampainya di luar, aku merapihkan kerahku dan duduk diatas motor sesantai mungkin. Menunggu Kira.
---
Kelas Mr.Bryan dimulai. Aku duduk diam seperti biasa. Karena Kira tampaknya tidak ingin bicara. Jadi aku juga ikut diam dan asik mencoret-coret meja.
Mr.Bryan datang. Akhir dari kesenangan.
Dia membagi kelas kami menjadi 15 kelompok dengan dua orang didalamnya. Sialnya, jumlah laki-laki dan perempuan dikelas ku sama. Membuat Mr.Bryan semakin senang memasangi kami.
Namaku yang pertama disebut, "Alexanders.......
....
Lisa Corters."
Aku menoleh melihat Kira, dia tampak tidak suka gagasan Mr.Bryan. Tapi mau bagaimana lagi?
Cukup lama hingga nama Kira disebutkan, aku tidak perlu deg-degan karena tidak mungkin aku bersama dengannya lagi.
"Shakira Elizabeth...........dan.......
Jack Newton."
Sesuatu memukul dadaku, tiba-tiba aku lupa cara bernafas dan meraih pinggiran mejaku. Lisa menoleh dan menyentuh bahuku.
"Alex?"
Aku menggeleng dan menoleh melihat Kira, menaikan kedua jempolku dan menyeringai lebar. Aku yakin aku cukup terlihat bahagia.
Kalau dia menganggap jempol itu untuknya dan Jack. Dia salah.
Aku mengirim jempol itu karena aku mengira dia melihatku nyaris sekarat. Aku mengira dia khawatir padaku.
Ternyata. Tidak.
Semua berubah sejak saat itu. Madam Ashley memindahkan tempat dudukku. Aku duduk dengan Jonas. Dia juga anak basket, dan itu membuatku jauh lebih sibuk menjadi anak basket dan pergaulan disekitarnya.
Kira juga menjauhiku. Entah maksudnya menjauhi atau apa, tapi aku jarang melihatnya diluar kelas. Jarang pulang bersamanya, nyaris tidak pernah lagi malah.
Lalu, suatu hari, aku nyaris merasa kehilangan semua oksigen dalam tubuhku saat mengendarai motor. Aku melihat Jack dan Kira asik berjalan ditrotoar. Menuju toko buku. Jelas. Itu tempat kesukaannya.
Aku terbatuk-batuk. Mau tak mau aku berhenti dipinggir jalan. Mengambil sebuah alat yang bisa menyemprotkan oksigen ke mulutku. Menyuplai masuk ke paru-paruku.
Itu tidak berguna untuk beberapa lama. Ketika aku sampai didepan rumah, aku ambruk. Dylan mengangkatku ke kamar. Dia sudah tau kalau akhir-akhir ini sesuatu mengganggu paru-paruku.
Ditambah lagi, dengan sesuatu.
"Ada apa denganmu?"
"Tidak. Aku hanya tidak punya kekuatan untuk berjalan atau bangun."
"Kenapa?"
Aku menggeleng, Dylan memberiku minum dan meninggalkanku. Aku menjawab pertanyaan itu didalam hatiku. Kali ini mengikuti Kira.
Jawabanku berasal dari film X-Men.
My Power... they come from.... but, its broken.
---
Pagi dua hari sebelum prom. Aku senang, andai saja Josh tidak mengunjungiku yang sedang terbaring lemah dikasur. Semuanya memburuk sejak hari itu. Hari dimana Dylan membopongku kekamar.
"Alex. Jangan dipaksakan." katanya. Dia pasti masih melihat kilat dalam sorot mataku. Aku masih menginginkannya! Aku ingin jadi kapten. Itu impian dalam kehidupanku selain jadi astronot.
"Aku... aku akan sembuh. Ini cuman—" aku terbatuk. Aku saja berjengit mendengar suara batukku yang horor. Seolah tidak ada rongga dalam tenggorokanku. Bunyinya hampa tapi begema.
"Alex, dengar. Cepat sembuh. Itu saja cukup." kata Eve. Lalu mereka pergi. Meninggalkan sebuah miniatur bola basket kecil dan bola basket sungguhan.
Dylan masuk bersama dokter yang kemarin aku kunjungi untuk memeriksa organ dalam tubuhku.
"Seharusnya kita tidak membicarakan ini depan pasien." kata Dokter.
"Dia anak keras kepala. Biarkan dia tau." kata Dylan. Suaranya kosong.
Aku menatap mereka berdua bergantian. Dylan sudah tau sesuatu. Kakaku sudah tau apapun lebih jauh dibanding apa yang aku ketahui.
"Kondisimu tidak benar-benar bagus." kata Dokter, memandangku. "Ada sesuatu soal organ dalammu. Aku berharap—"
"Katakan saja." suaraku parau.
"Maaf?"
"Katakan saja. Aku siap."
Jauh didalam hatiku, aku sudah menebak apa yang terjadi padaku. Apa bedanya dia memberi tauku sekarang atau nanti? Lambat laun aku akan mengetauhinya kan?
"Kau mengidap Kanker Paru-paru. Sesuatu yang janggal karena paru-parumu. Beruntung cairan itu tidak over jadi—"
Kakaku menggeleng, Dokter mengangguk. Aku menjerit meminta penjelasan lebih, tapi Dylan menggeleng. Dia mendorong dokter keluar bersama dirinya, tidak peduli kalau aku berteriak disini sampai rasanya ingin pingsan. Karena berteriak saja sudah menguras semua oksigen dalam tubuhku.
Itu hanya berarti satu hal. Hidupku tidak akan lama.
-to be continued