_____Langit jingga dengan awan tipis yang warnanya tersamar oleh kuningnya matahari tenggelam. Segalanya di sore hari itu terlihat lebih oranye dari biasanya. Daun-daun yang berguguran terbang bersama angin yang bertiup cukup kencang.
Musim gugur di tahun ini begitu indah dan terlihat cantik. Seharusnya hanya akan ada moment yang membahagiakan, seperti yang terdapat dalam angan. Namun, Tuhan tidak menyetujuinya dan memberikan sedikit bumbu yang membuat hati pedih bukan kepalang.
Tahun terakhirku di Senior Highschool-tepat saat hujan musim gugur pertama turun. Di bawah rindangnya pohon mapel yang daunnya mulai menguning, tepat di sana aku menyatakan hal yang membuatku sesak selama hampir dua tahun. Menyatakan perasaan pada seorang pria dingin dengan segala keangkuhannya.
"Tidak,"
Suaranya yang datar itu terdengar bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Dengan keadaan mulut yang masih setengah terbuka, aku yakin pasti pipiku mulai berubah merah. Bersamaan dengan itu, ada sesuatu yang sepertinya memelintir jantungku dan memukul lambungku hingga aku merasa pening dan perutku mendadak terasa seperti diaduk-aduk.
"hubungan ini tidak akan pernah berhasil, Hinata."
Rahangku mengeras saat dia melanjutkan kalimatnya. Untuk sejenak aku lupa bagaimana caranya menghirup udara dengan normal, alhasil aku merasa sesak. Mataku mulai berkabut dengan air mata.
Aku tidak ingin menangis.
Kedua tanganku meremas kuat kain pembungkus bentou yang khusus kubuatkan untuknya. Aku tidak menyangka ternyata ditolak bisa terasa begitu menyakitkan. Dia sama sekali tidak menerima barang bawaanku, dia malah memandangku dengan tatapan err... kasihan?
Ya, memang aku akui. Penampilanku jauh dari kata menarik, otakku tidak pintar apalagi cerdas, bahkan dalam segi materi aku jauh berada di kasta bawah. Lebih daripada itu, usiaku dengannya yang terpaut jauh. Tapi, apa sehina itu perasaan seseorang sepertiku? Bukankah perasaan seperti ini bukan kehendakku untuk memilih?
Jika bisa, aku juga tidak ingin jatuh hati padanya. Pria kaya raya yang dikelilingi fasilitas mewah, memiliki prestasi yang gemilang dan tentu saja didukung oleh paras yang menawan---terlebih lagi dia guruku. Menggiurkan memang, tapi terlalu glamour untukku yang hanya seperti butiran debu.
Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku sedikit keras,
"Apa karena bagimu aku hanya anak kecil?" tanyaku sedikit terburu, rasa sesak mulai terasa dalam setiap tarikan nafas.
Untuk sejenak dia terdiam, lalu telapak tangannya yang besar menepuk puncak kepalaku,
"Aku ini gurumu." ujarnya disertai helaan nafas di akhir kalimatnya.
"Selamat tinggal."
Itu adalah kata-kata terakhir. Setelahnya aku yakin tidak akan ada lagi pertemuan, bahkan percakapan. Semuanya pasti akan benar-benar berhenti setelah kejadian ini.
Aku tertawa, aku lupa bagaimana menapaki bumi, terlalu yakin jika kisah 'Jack dan Pohon Kacang Ajaib' adalah sesuatu yang benar adanya. Saat melakukannya aku merasa begitu serakah dan tidak tahu diri, terlalu percaya pada dongeng tentang 'Si cantik dan Si Buruk Rupa'. Sadar, ternyata kisah Cinderella dan Pangeran itu tidak pernah terjadi di kehidupan nyata.
Aku yang terlalu optimis padahal segalanya masih begitu abu-abu. Minim informasi, hanya mengawasinya lewat jendela kelas dan berpapasan ketika berjalan tidak bisa disebut pertemuan. Bahkan tidak ada kontak mata atau sekedar sapaan ringan. Begitu bisu dan kekanakan.
Bagaimana bisa aku berpikir begitu jauh, bahkan dia tidak pernah melirikku.
Setelah ucapan selamat tinggal yang menjadi kalimat terakhirnya, hujan turun. Tepat setelah dia hilang di ujung belokan sana. Aku tidak menangis di bawah hujan-jika kalian menerka. Yang aku lakukan adalah berlari-berteduh di bawah salah satu kedai kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story [Hinata]
FanfictionNaruto(c)Masashi Kishimoto Isinya cuman tulisan gabut, acak-acakan dan gak jelas.