01. Potret Pertama di Alun-Alun Kota

3.3K 343 104
                                    

Angkasa Dua Warna
©jenoctopush

Malam minggu jika diasumsikan oleh para kawula muda, maka sebut saja malam sedetik surga. Karena, sungguh para muda-mudi di bumi pasundan ini sedang berbahagia menikmati akhir pekan bersama. Duduk di alun-alun Kota Bandung bersama gemerlapnya langit malam, diiringi deru kendaraan yang tidak berhenti mengoceh, klakson sana sini karena mungkin sudah habis kesabarannya.

Semuanya terlihat memasang wajah bahagia dengan binarnya, kecuali satu perempuan yang sedang menenteng totebag, matanya kesana-kemari mengedar pandang. Mencari satu eksistensi di antara sekian banyak sukma satu tempat. Mana wanita dewasa dengan perawakan keibuan itu? Yang berjanji mau menanamkan modal untuk masa depannya.

"Nona Biru? Kamu Nona Biru itu, 'kan?"

Sang gadis menoleh, mendapati satu taruna dengan pakaian kasual sedang menenteng tas totebag yang sama dengannya.

"Lihat! gGla? Aku bertemu si Nona Biru. Atau kamu cuma pembacanya?"

Gadis itu hanya mengangkat satu alisnya, hampir bingung dengan taruna yang merasa sudah kenal dia sangat lama.

"Kamu ikut PO si Nona Biru? Sungguh, ternyata aku bisa bertemu penggemar Nona Biru di alun-alun. Memang ya, semua karya dia adalah mahakarya. Puisi-puisi serta buku terbaru yang judulnya Aksara Lautan, kamu beli? Aku bahkan tidak menyangka kalau--"

"Maaf?" potong gadis itu cepat, mau menghentikan si pemuda lanjut mencerocos.

"Ah, maaf. Namaku Sakala Biru Samudera. Sungguh, aku benar-benar senang bisa bertemu penggemar Nona Biru. Kamu mau aku ajak mengobrol sebentar?"

"maksud kamu?"

Si pemuda langsung kikuk, posturnya seperti orang linglung yang tidak sengaja berbicara asal. "Ah, kamu engga tau nona biru? totebag kamu... cuma eksklusif di PO buku terbarunya. Maaf kalau tidak sopan."

"Kamu mengikuti websiteku?" Sang gadis malah melempar pertanyaan.

"KAMU BENAR-BENAR SI NONA BIRU? YANG MENULIS AKSARA LAUTAN? YA TUHAN APA AKU SEDANG BERMIMPI?"

Gadis itu tersenyum kecil, menyadari baru saja menyapa pembacanya di satu kota yang sama. Mau menertawakan betapa lucunya mereka bertemu di saat-saat seperti ini.

"Iya, aku si nona biru. Terima kasih sudah mendukung dan mengapresiasi karyaku, ya. Sakala?"

"Panggil saja Biru. Nama kamu bukan benar-benar Biru kan? kutebak, 'Nona Biru' cuma nama pena. iyakan?"

"Iya."

"Boleh aku tau nama aslimu, Wahai Nona Biru." Taruna itu menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda sebelum sang puan keburu menghindari jalinan kontak mata di antara keduanya.

"Kamu sudah cukup tau aku orangnya, Biru. Aku permisi dulu, ya. Mau bertemu seseorang."

Sang gadis keburu pamit permisi, menjauh dari kerumunan orang dan mendekat ke parkiran. Sebelum habis bayangannya, dia tersenyum kecil.

Senyum yang akan selalu Biru ingat.

Biru sudah melanglang buana sejauh namanya sendiri, samudera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru sudah melanglang buana sejauh namanya sendiri, samudera. Dengan rupa bangsawan serta keelokan sopan santunnya, pantas disebut jelmaan dewa. Sayang, mengikuti pepatah entah siapa yang bilang kalau tidak ada manusia sempurna, pun begitu juga dengan Biru.

Mulutnya mudah sekali mencerocos sana sini sambil lupa ambil penyaring. Terlalu menggebu-gebu sampai lupa kata istirahat, mengeluarkan suara ribut yang ada di kepala hingga habis waktu untuk tenang.

Namanya Sakala Biru Samudera.

Dengan semua pesonanya tentang bagaimana dia terkenal seantero Jurusan Sastra Indonesia. Biru, kalau boleh bicara tentang seberapa besar dia disayangi oleh semesta, maka antariksa sendiri yang akan menjawabnya. Biru hidup dalam glorifikasi. biru hidup dalam kemudahan serta kebahagiaan.

Biru tidak pernah merasakan bagaimana kenestapaan itu. Biru lupa rasanya sedih. Biru kehilangan definisi semua hal yang dibenci manusia sebab dia mencintai perihal-perihal yang tidak disukai insan kebanyakan.

Dan masalahnya dimulai saat taruna itu mengeklik website penulis dengan nama pena Nona Biru.

Nona Biru yang abu-abu, ditemani pencariannya terhadap mahakarya warna.

Deskripsi singkat dari halaman atas webnya begitu. Dengan semangat Biru langsung membaca sepatah puisinya. Jatuh cinta sekali pandang kalau diasumsikan dengan kalimat singkat.

Biru merasakan sedih pertama kali, saat membaca karya-karya si nona biru. Biru bahkan tenggelam dalam semua tulisan dari tangan ajaib sang penulis. Dia sangat menikmati bisa merasakan rasa-rasa yang hadir singkat dalam hatinya, membuatnya menghangat kadang juga membara.

Biru jatuh cinta.

Setelahnya? Setelah biru jatuh begitu dalam sampai buku pertama si penulis terbit, si penulis berbicara—entah sedang melantur atau jujur, bilang mau berhenti menulis.

Yang artinya berhenti melahirkan mahakarya-mahakarya selanjutnya. Yang artinya tidak mau menyelesaikan sajak-sajak yang masih menggantung bagaimana kelanjutannya.

Sedih? Pembaca mana sih yang tidak sedih melihat penulis kesayangannya mau gantung pena (entah apa ada ungkapan seperti ini atau tidak).

Malam minggu ini, biru berniat mencari udara segar keluar dari kamar kosnya, jalan-jalan ke Bandung sambil bertanya-tanya bagaimana cara meyakinkan si penulis untuk tetap mengetik semua ide-idenya. Wow, ternyata rencana semesta melebihi ekspektasi tertingginya.

Biru malah bertemu si penulis lengkap dengan dia tahu seperti apa wajah di balik nama pena Nona Biru.

Ternyata, selain jatuh kelewat sangat soal hasil-hasil olah tangan serta kata, sebut Biru berlagak aneh dan tidak wajar karena dia...

Malah ikutan jatuh tentang bagaimana si penulis tersenyum tipis.

Maaf Nona Biru, salah satu pembacamu sepertinya benar-benar jatuh cinta dengan kamu. lengkap dengan kata sungguh tanpa sanggah.

[🛩] note :masya allah aku mau ke bandung lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[🛩] note :
masya allah
aku mau ke bandung
lagi . . .
duduk di alun-alun
sambil makan cilok
ketemu mas ganteng
dari itb

meong
ayo dong kota kembang
aku rindu . . .

© jenoctopush

Angkasa Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang