23 Desember 2025

436 41 3
                                    

Kepada,
Rahagi Hadyan Gentala

Kamu tidak akan suka jika kubilang aku sedang menangis. Tapi entah apakah kamu masih memikirkanku saat surat-surat ini sampai padamu. Aku sedang menangis, Mas. Air mata pertama yang meluncur di atas pipiku adalah dua jam lalu, saat aku bertemu pemilik sebuah sekolah gratis di Purwakarta.

Aku akhirnya jadi jurnalis, Mas. Sesuatu yang dulu selalu aku bilang ingin aku geluti.

Sekolah yang kudatangi terkenal karena konsepnya yang unik. Mereka tidak mengajar matematika, tapi mengajar cara mengimplementasikan matematika di kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan pelajaran lain; fisika, ekonomi, bahasa. Anak-anak yang datang ke sana adalah anak-anak dari kawasan kumuh Kabupaten yang kekurangan uang untuk belajar. Mereka ditampung di sebuah asrama yang sangat layak, diberi makan, diajarkan cara mencari uang lewat hal yang lebih positif; berjualan buah tangan.

Pengelola sekolah itu bernama Rangga. Orang yang tinggi dengan rambut panjang yang diikat menggunakan karet gelang. Tipikal orang bebas. Saat kuajak bicara, Rangga menolak disebut pemilik, juga pendiri. Menurutnya, pemilik sekolah ini sejatinya adalah donatur-donatur yang rutin mengucurkan uang mereka untuk perkembangan generasi bangsa. Ia juga bukan pendiri, karena menurutnya, pendirinya adalah satu orang lagi rekan yang ia kenal lewat komunitas fotografi.

"Siapa nama pendirinya?" tanyaku tadi.

Rangga tersenyum, seolah sedang mengingat kawan lama yang memberi kesan begitu mendalam di hidupnya.

"Ada, kawan saya. Namanya Rahagi. Sekolah ini pun bangunan dan tanahnya masih atas nama dia."

Mendengar namamu muncul, dibarengi dengan tatapan penuh penghargaan dari orang yang sekarang dianggap penting di sebuah Kabupaten membuatku menangis, Mas. Rangga sampai kelimpungan karena ia pikir aku merasa sakit. Ia tidak salah, hatiku benar sakit. Terkejut aku menghadapi kenyataan kalau rupanya kamu sudah sungguh-sungguh mewujudkan mimpi.

"Rahagi... Rahagi Hadyan Gentala?" Aku bertanya dengan terbata-bata.

Rangga mengerutkan alis. "Saya nggak tahu nama panjangnya. Tapi kalau maksud Anda, Rahagi yang punya tahi lalat di bawah bibir, orang Bandung dan lulusan Teknik Lingkungan ITB, itu benar."

Akhirnya aku menemukan kamu, Mas.

Akhirnya aku temukan jejakmu yang kupikir sudah hilang disapu angin bernama waktu.

"Mas... boleh minta kontak Rahagi?"

"Saya nggak punya, Mas. Dia nggak pakai ponsel. Tapi minggu lalu dia bilang mau datang lusa. Ada yang mau diomongin, katanya."

Lusa hanya berselang beberapa hari dari hari ini, Mas. Pada akhirnya semesta cukup baik untuk membiarkan aku menunggu sedikit lebih lama. Aku tidak bisa menahan pikiran-pikiran tentang sosokmu kini. Masihkah setampan dulu, kupikir pasti kamu lebih sehat sekarang mengingat kau punya ambisi tidak biasa pada setiap inci otot di tubuhmu.

Aku tidak sabar.

"Maaf, Mas. Mungkin terkesan nggak sopan. Tapi Mas tahu kalau Rahagi sudah punya istri... barangkali?"

Rangga menggeleng. "Setahu saya dia masih sendiri."

23 Desember 2025

Jurnal Arkan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang