Bab 1

305 30 0
                                    

Sekarang Zia dan Daffin sudah berada di sebuah cafe yang memiliki suasana yang indah. Dengan tatapan tajam Daffin menatap Zia yang sendari hanya menunduk.

Daffin membuka pembicaraan dengan to the point tanpa menanyakan kabar ataupun apapun yang menyangkut tentang Zia. " bagaimana Zia? " tanya Daffin dengan tegas .

Zia langsung menarik nafasnya dalam-dalam dan menghebuskannya dengan kasar, agar bisa menjawab pertanyaan yang pernah di tanyakan Deffin atasannya. " saya siap menikah dengan bapak, demi kesembuhan ibu saya " ucap Zia dengan posisi menunduk tanpa menatap wajah, laki-laki yang dulunya atasannya, dan dengan sekejab berubah menjadi calon suami dari Zia.

" ibu, semoga ini yang terbaik buat kita " ucap Zia dalam hatinya.

" kita akan menikah di depan ibumu, tanpa pesta meriah dan saya minta hanya pendeta dan saksi " ucap Daffin sambil meneguk kopi hitam pesanannya yang sudah dingin di atas meja.

Sedangkan sang wanita hanya diam memikirkan bagaimana ia mengatakannya kepada sang ibu bahwa ia akan menikah dengan lelaki yang tidak Zia cintai, lelaki yang terpaksa Zia terima sebagai suami demi kesembuhan orang tuanya.

" saya akan bicara dengan ibumu " ucap Daffin dan membuat Zia tanpa sengaja menatap Daffin yang sedang sibuk dengan ponselnya.

" biar saja saya yang berbicara, besok kamu harus temani saya bertemu dengan ibu, kalau perlu langsung diadakan pernikahannya " ucap Daffin sambil menatap Zia yang terlihat sangat ketakutan.

Zia memberanikan diri untuk kembali berbicara meski ia tahu akan kalah dengan Daffin. " apa saya tetap bisa bekerja? " ucap Zia.

" kamu akan tetap bisa bekerja " ucap Daffin dengan santai.

Zia meminta ijin pamit diluan kepada Daffin,  lama-lama Zia bisa stres dengan sifat Daffin yang cuek. " saya pamit pulang pak " ucap Zia sambil tetap dengan posisi yang sama menunduk.

Daffin hanya mengganggukan kepalanya, tanpa menatap Zia sekalipun. Dan Saat Zia ingin hendak berdiri dari tempat duduknya Daffin langsung menahan kepergian Zia. " tunggu, besok saya tunggu jam 8 pagi di depan gang rumah sewaan kamu " ucap Daffin sambil menatap Zia yang sibuk menatap ke arah parkiran cafe.

" lah, besokkan masih jam kerja pak " ucap Zia bingung, mengapa Daffin mengajaknya besok untuk bertemu dengan ibunya.

Dengan wajah yang sulit diartikan. " kamu hubungi temanmu bilang, kamu sedang sakit " ucap Daffin sambil kembali sibuk dengan ponselnya.

Zia terpaksa mengikuti perintah dari Daffin. " baik pak, kalau begitu saya pamit pulang " ucap Zia sambil berjalan ke arah parkiran meninggalkan Daffin yang masih setia dengan kursinya.

Sepanjang perjalanan, Zia berkutak dengan pikirannya. Bingung bagaimana ia akan memberitahu ibunya bahwa ia akan menikah dengan atasannya? Zia melakukan ini semua demi ibunya wanita yang selalu berkorban untuk anaknya. Zia memutuskan untuk kerumah sahabatkan Wendah Ningtyas, tempat satu kantor Zia yang begitu dekat dengan Zia.

Sesampainya dirumah Wendah, Zia langsung menghubungi Wendah untuk membukakan pintu kamarnya yang terkunci. Tak lama sang empunya kamar terdengar sedang membukakan pintu kamarnya.

" Zia kenapa kamu? " tanya Wendah melihat wajah Zia yang pucat.

Zia hanya diam dan langsung memeluk Wendah sambil menangis. Zia bingung harus bercerita dengan siapa lagi selain dengan Wendah tentang dirinya yang akan menikah dengan atasannya sendiri di kantor. Wendah langsung mengajak Zia masuk dan duduk untuk memenangkan pikirannya. Setelah Wendah rasa Zia sudah mulai redah, Wendah langsung menanyakan mengapa Zia.

" Cerita Zia, kamu kenapa? kok manangis? ada masalah dengan siapa Zia? " tanya Wedah sambil memberikan Zia minum agar dapat tenang dalam bercerita. Wendah langsung duduk disampinh Zia sambil merangkulnya.

" aku akan menikah dengan pak Daffin! " ucap Zia sambil kembali menangis.

Wendah langsung kaget dan menatap intens Zia. " kok bisa? " tanya Wendah simple.

Zia menunduk. " ibuku sakit Ndah, aku perlu banyak uang untuk kesembuhan ibuku, beberapa hari yang lalu aku mencoba langsung menghadap pak Daffin untuk meminjam uang, awalnya pak Daffin mau, tiba-tiba persyataratan itu terlontar darinya " ucap Zia sedih dengan nasibnya yang begitu.

Wendah langsung memeluk sahabatnya yang begitu ia sayangi. Semua perempuan pasti mengerti jika posisi yang di hadapi oleh Zia berada di posisi mereka. " Aku minta maaf Zia, sebagai sahabatmu aku tidak bisa bantu apa-apa? kamu tahukan gaji kita kita di kantor hanya cukup untuk biaya hidup dan untuk keluarga di kampung " ucap Wendah sambil meneteskan air matanya tidak bisa membantu sahabatnya.

" Tidak papa Ndah " ucap Zia tersenyum melihat sahabatnya tersebut.

" kapan rencananya pernikahan itu terjadi Zia? " tanya Wendah sambil menatap Zia yang melihat satu tujuan tetapi kosong.

Wendah mengelus punggung Zia dan wanita tersebut tersadar dari lamunannya yang terlihat kosong. " secepatnya Ndah " ucap Zia menunduk.

" Sekarang kamu tidur disini aja ya, aku takut jika kamu pulang terjadi yang tidak-tidak denganmu Zia " ucap Wendah melihat kondisi sahabatnya seperti tidak punya kehidupan lagi.

Zia menghela nafasnya kasar. " aku harus balik Ndah, besok aku dan Pak Daffin akan berangkat besok ke kampung untuk bertemu dengan ibu, mungkin jika terjadi kami akan menikah di hari itu " ucap Zia mengatakan seperti yang Deffin katakan.

" berapa hari disana? " tanya Wendah dengan pelan takut sahabatnya ini stres dengan keadaannya.

" entahlah, dan aku minta tolong bilang pada kantor aku sakit ya Ndah " ucap Zia dengan menunduk.

" iya Zia, dan aku mau lihat kamu tidak seperti ini lagi ya, aku jadi ikut sedih " ucap Wendah sambil menatap sahabatnya yang tidak seperti biasanya.

Zia pamit pulang, karena ia belum merapikan perlengkapannya yang di bawa besok. " aku pamit pulang ya Ndah " ucap Zia dengan nada yang sendu.

Sambil berjalan ke arah parkiran kost, Wendah selalu merangkul Zia. " hati-hati ya Zia, besok sebelum berangkat jangan lupa untuk kasih kabar ya " ucap Wendah dengan nada yang sendu, dan kenyataannya sahabatnya akan menikah bukan dengan lelaki yang ia cintai melainkan dengan pemilik perusahaan dimana mereka bekerja.

Zia langsung menyalakan motor matic yang baru saja ia beli dari hasil kerja kerasnya. Zia meninggalkan kost milik Wendah sambil tersenyum dan melambaikan tangannya menuju rumah sewaan yang sebentar lagi akan Zia tinggalkan.

Sepanjang perjalanan Zia hanya menatap jalanan yang terlihat tidak terlalu macet seperti biasanya, ditambah waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Jarak dari rumah Wendah ke rumah sewaan Zia sekitar 2 jam jika jalan seperti ini.

Zia sudah sampai di rumah sewaan yang sudah ia sewa selama 3 tahun. Zia langsung ke kamar untuk berbenah diri dan merapikan perlengkapannya kedalam koper. Zia kembali bertarung dengan pikirannya, bagaimana jika ibunya mengetahui Zia menikah dengan lelaki yang tidak Zia cintai?

" maafkan Zia ibu, ini semua Zia lakukan demi kesembuhan ibu, Zia ingin ibu sembuh dan tinggal bersama Zia di sini " ucap Zia dalam hatinya dan tanpa sabar menangis menatap foto yang tertata rapi di dalam bingkai tersebut, yang menunjukkan betapa sayangnya Zia kepada wanita yang telah melahirkan dan membesarnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TERIMA KASIH TELAH MEMILIHKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang