01: The 200K

7 1 0
                                    

200.000 atau tidak sama sekali

●●●

Uang. Atau. Cinta.

Tentu Rise memilih cinta, dengan cara kehilangan uang. Seperti hari ini, misalnya. Hanna mematok harga 200.000 untuk informasi tidak penting. Katanya, Jevon di awal kelas 10 pernah tersandung kakinya sendiri saat bermain basket hingga mendapat luka gores—yang sebenarnya tidak sampai tiga senti.

Lagi, beberapa hari lalu, dua ratus ribu untuk kalimat "Jevon takut kecoak"—yang ditelaah dari sudut pandang mana pun akan disetujui ratusan orang sebagai tindakan paling bodoh dalam sejarah peradaban manusia karena membuang uang sebanyak itu untuk informasi tidak berguna.

"Aku melakukannya sebisaku." Hanna melakukan pembelaan saat Rise memprotesnya. "Orang baik macam apa yang meminta temannya menjadi penguntit?"

"Lalu, kau sendiri, orang menyebalkan mana yang memeras temannya?" ketus Rise, menyuapkan nasi ke dalam mulut. Hanna memang keterlaluan. Bahkan, hampir setiap hari Rise hanya menyantap mi instan di rumah, karena, ya, orangtuanya terlalu sibuk meskipun hanya untuk menempelkan bokongnya di kursi meja makan, dan kebetulan Rise jarang sekali punya uang.

Hanna menutup sebagian bibirnya dengan telapak tangan. "Dia tidak sesempurna yang kau kira," ujarnya, membuat Rise yang sedang meminum soda hampir tersedak. "aku mendengar beberapa hal buruk tentangnya. Tentang si Jevon itu."

Telingamu berkedut. "Diam! Bagiku nyaris sempurna." Rise menampik tangan Hanna yang diletakkan di bahunya. "Makan saja makan siangmu. Sepuluh menit lagi bel masuk."

"Astaga," ujar Hanna berdecap sembari menggelengkan kepala berulang kali. "inilah kenapa aku berkata bahwa cinta itu buta. Mungkin aku perlu menusuk matamu dengan garpu agar kau buta sungguhan." Dia mendesis, mengapit angin menggunakan sumpitnya tepat di depan mata dengan iris bewarna coklat muda milik Rise.

Tapi, memang begitu, kan, cara kerja cinta? Segala sesuatu yang ada tampak indah. Bahkan, jika seseorang berkata bahwa orang yang mereka sukai punya tanda lahir besar di bokong, dia tidak akan peduli dan malah berkata jika itu adalah tanda lahir paling keren yang pernah ada. Ya, hal tersebut mengandung dua makna—kecuali dia melihat bokong si-tuan-sempurna secara langsung, yang sumpah dilirik dari sisi mana pun itu menggelikan sekali.

"Omong-omong, kau sudah tahu mantan pacarnya?" tanya Rise.

Hanna mengangguk pelan. Gadis dengan rambut sebahu di depannya bisa melihat itu dari sudut mata. "Julia atau siapa pun itu. Dia pemain biola andal. Seantero sekolah mengenalnya. Poin paling penting, awalan nama mereka sama, dan sumpah demi apa pun itu fantastik sekali. Seolah ditakdirkan bersatu, mungkin?" ujarnya sembari mengunyah nasi.

Mantan pacar yang mengagumkan. Memetik senar gitar pun Rise menghasilkan nada sumbang. Belum lagi dia sempat mendengar jika Julia pintar bermain basket, yang diyakininya sebagai salah satu daya tarik terbesar bagi Jevon. Hidup ini terkadang tidak adil untuk orang seperti Rise. Maksudnya, untuk orang yang hanya tahu makan dan tidur.

Melihat sahabatnya melamun, akhirnya Hanna angkat bicara dengan tatapan prihatin. "Kenapa kau tidak menyerah saja?" Dia merapikan anak rambutnya, kemudian melanjutkan, "Mencintai Jevon rasanya agak keterlaluan. Bukan karena dia, well, sebegitu tampan atau masalah mantan pacarnya yang kelewat sempurna—atau apa pun itu terserahlah. Hanya saja dia terlalu dingin untuk ukuran manusia."

Di dalam benak Rise, ingatannya tentang waktu yang dihabiskan untuk menjadi penggemar rahasia Jevon bermunculan satu per satu. Ya. Begitulah. Berbulan-bulan Rise menyukainya, namun tidak ada perkembangan signifikan. Oh, ayolah, dia bahkan tidak tahu apakah Jevon punya waktu untuk mengingat wajahnya atau tidak. Selalu ada permasalahan yang sama pada kasus mencintai secara diam-diam. Hal itu membawa jutaan tanda tanya tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab.

17 Stories of TeenagersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang