1 | SATU

190 82 86
                                    

Heradika Monica, namaku. Entah karma apa yang menimpaku sampai aku terjebak dalam persahabatanku sendiri. Aku sadar di sini hanya aku yang terjebak. Karena dia, Aarav Zayyan selalu mengenalkan aku kepada teman-temannya sebagai sahabat. Sedangkan aku, diam-diam memakinya dalam hati ketika ia menyebutkan kata-kata itu. Terkadang aku benar-benar merasa muak padanya. Kurasa tidak adil jika harus selalu aku yang terbebani perasaanku sendiri. Mengapa bukan ia saja yang jatuh cinta padaku?

Aku dan Aarav memang sedari kecil sudah berteman bahkan orang tua kami sudah seperti keluarga. Kami tinggal di kompleks perumahan yang sama di selatan kota Bandung. Rumahnya persis berada di sebrang rumahku. Orang tuanya pekerja kantoran sedangkan orang tuaku mengelola sebuah restoran. Mereka selalu menyekolahkan kami di sekolah yang sama dari TK sampai SMA. Sedekat itu sampai bisa dikatakan rumahku juga rumahnya, orang tuaku pun orang tuanya, begitu pun sebaliknya.

Empat bulan yang lalu Aarav mengikuti ajang pencarian bakat yaitu Idola Indonesia. Aku sempat beberapa kali datang ke studio tempatnya mengikuti ajang tersebut untuk memberikan dukungan. Tapi akhirnya aku memutuskan tidak lagi datang karena lokasinya yang jauh di jakarta menyebabkan sekolahku terganggu. Ketika itu Aarav beberapa kali masih sempat menghubungiku ketika ada kesempatan karena ia tidak diperbolehkan membawa handphone.

Sampai akhirnya ia sekarang benar-benar naik daun karena menjadi juara satu ajang Idola Indonesia. Suaranya sangat dikagumi dan yang tak kalah menjadi perhatian adalah visualnya yang juga bukan main. Jangan ditanya lagi, penggemarnya sudah pasti merata di seluruh penjuru Indonesia. Ia pun di jodoh-jodohkan dengan seseorang yang juga mengikuti ajang tersebut. Aku bisa tau karena hampir setiap hari aku mencari informasi tentang Aarav. Perempuan itu sangat cantik, membuatku terintimidasi, dan sudah pasti, aku cemburu berat.

Sudah sekitar tiga minggu Aarav tidak menghubungiku. Aku masih maklum karena ia pasti sibuk diundang televisi sana-sini. Aku juga tidak ingin terlalu memikirkannya karena harus fokus pada Ujian Nasioal. Ada yang membuat hatiku berdebar mengingat hari itu, karena kemungkinan besar aku bisa bertemu Aarav. Ia pasti pulang untuk mengikuti Ujian Nasioal. Terus terang aku cukup rindu padanya.

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Aku baru saja keluar kelas seusai menyelesaikan soal ujian nasionalku di hari pertama. Tiba-tiba aku melihat kerumunan orang yang berjalan menyeberangi lapangan sekolah. Setelah kuamati, aku sadar jika itu adalah Aarav yang dijaga ketat oleh keamanannya dengan beberapa siswa-siswi yang membuntuti. Aku hanya memperhatikan sampai kerumunan itu hilang di ujung lorong sekolah. Sampai beberapa menit aku masih mematung. Berusaha mengatur perasaanku agar masa bodoh dengan apa yang baru saja kulihat. Sesaat kemudian kuremas tali tas punggungku dan segera beranjak pergi.

Di hari kedua adegan kerumunan orang itu masih sama sampai hari terakhir pun begitu. Tetapi di hari terkahir, ketika aku turun dari angkutan kota dan memasuki gang kompleks rumahku, aku melihat mobil hitam terparkir di pinggir jalan tepat di depan rumah Aarav dengan beberapa petugas keamanan yang sempat kulihat juga di sekolah. Tak berapa lama kemudian Aarav masuk mobil bersama ibunya lalu mobil itu melaju menjauhiku menuju jalan raya yang juga ada di sebrang sana.

Sayup-sayup musik di headset-ku mulai kembali terdengar. Lagu yang sedang mengalun adalah 'HALU' dan lirik yang sedang disenandungkan adalah 'sekarang aku pun sadari, semua hanya mimpiku yang berkhayallah kan bisa bersamamu'.

"Brengsek!" Umpatku dalam hati.

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

"Aku lulus di fakultas Ekonomi Jogja, Ma. Jurusan Manajemen Bisnis." Kataku sambil memperhatikan layar laptop yang menampilkan hasil pengumumam SBMPTN.

HALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang