Suara muntah terdengar dari kamar mandi membangunkannya. Dia terjaga mengalami distorsi berpikir dimana dirinya. Oh kamarnya tapi istrinya tak ada. Segera, dia mengetahui siapa pemilik suara tadi. Ini sudah kesekian kalinya, setiap hari terbangun mendapati istrinya muntah. Hal wajar katanya tapi ia bangkit menyusul khawatir membutuhkan sesuatu.
Dia sedang menyalakan kran wastafel ketika dia tiba di pintu masuk. Melihatnya memegang tepian meja wastafel seolah itu tumpuan terakhir sedangkan tangan satunya menutup mulutnya seolah memblokir apapun yang akan keluar. Lagi.
Dia melihatnya, tersenyum lemah.
"Maaf."
Apa maksudnya. Setelah semua kata, harusnya ia yang meminta maaf. Ialah penyebab semua bukan dia. Mengerutkan kening, ia menghampirinya dan memeluknya erat dari belakang.
Seolah mengerti ia akan memprotes. Ia melihat cermin pada suaminya.
"Aku membangunkanmu..."
Muntah. Muntah lagi. Tapi tak ada yang dapat dikeluarkan. Seolah semua sudah habis. Hanya kekosongan rasa mual tak tertahan.
Sigap ia memijit perlahan tengkuknya. Berharap proses ini segera berakhir. Meski ia tahu ini bukan terakhir kalinya. Sudah lewat seminggu semenjak ungkapannya mengenai kehamilan. Ia masih trimester pertama dan masih... Tunggu masih sebulan lagi. Sepertinya.
Ia tak bisa berpikir apapun. Rasanya lemas dan sakit. Ia tahu ia harus menghadapinya entah sampai kapan. Normal. Tapi melelahkan. Ia menyeka mulutnya mencuci tangannya dengan lemah mendongak hampir jatuh jika tak ada pelukan suaminya.
"Kau tidak baik-baik saja." Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. Melihatnya bernafas cepat seperti habis berlari maraton, dia mengeratkan pelukannya meski dengan hati-hati tidak ingin melukainya. Menempelkan hidungnya ke rambutnya, menciumnya ingin menenangkannya memberi kekuatan seandainya bisa. Meresapi aroma shampo wanitanya yang manis sebagai gantinya.
Dia bersandar ke dadanya. Melihatnya dari cermin, menormalkan nafasnya "Tidak," desahnya. "Hanya sedikit mual."
Dia mengerutkan kening pada jawabannya. Balik menatapnya. Dia menekannya lebih dekat ke dadanya, meletakkan dagunya di kepalanya."Apakah kamu yakin?"
"Aku baik-baik saja, Tsubasa," Sanae meyakinkannya dengan senyum di wajahnya, tapi sayangnya itu tidak berhasil. "Tak ada yang keluar tadi. Hanya mual. Sepertinya semua makanan sudah terserap olehnya." Berpaling kini melihat ke arah perutnya. Memegang kedua tangan suaminya mengarahkannya dengan tepat pada calon bayinya. Bayi mereka.
Menghela nafas dan tersenyum lebar tahu ia tidak akan bisa membantah.
"Baiklah. Hanya berharap kalian sehat." Merasakan calon kehidupan baru ada dalam perut istrinya. Mengusap lembut, tonjolan perutnya semakin terasa berbeda."Sehat dan gemuk." Cemberut. Dia berpaling lagi kembali menatap suaminya lewat cermin. Mengusap rambut suaminya membalas perlakuan suaminya.
Berpaling menatapnya, menumpukkan kepalanya pada pundaknya. Mengerutkan kening dalam kebingungan. "Apa? Kau tidak gemuk."
"Jangan bercanda," katanya sederhana.
Dia memutar matanya lalu menyeringai. Mencubit pipinya sebagai gantinya, "Dalam artian bagus."
"Mustahil," katanya kemudian menyiapkan obat kumur untuk mulutnya. Rasanya ia mengantuk dan kembali tidur lagi, hal merepotkan jika harus menyikat gigi lagi. Dan sudah tak peduli dengan ada dia di belakangnya.
Tahu ia tak ingin berdebat lagi. Melihatnya mengantuk dan hampir tertidur sepertinya. Ia mencium cepat pipi istrinya yang mengembung siap berkumur. Mengerling jahil, ia akan dapat masalah.
Dia melotot kemudian menggelengkan kepala. Melanjutkan urusan berkumur dan memuntahkannya setelah selesai. "Itu menjijikan."
"Tidak. Hanya dorongan alami," balasnya tidak mau mengalah. Ia memperhatikan istrinya mencuci mulut dan tangannya dengan sabun baru. Ingin berkontribusi, ia ikut mencuci tangan bersamanya.
Tersenyum pasrah. Tiba sebuah ide muncul. Memalingkan mukanya, mencium cepat. Tepat di atas bibirnya. "Sekalian." Bibirnya kini berlepotan sabun juga.
Mendengus tak membalas. Lebih baik segera menuntaskan urusan cuci mencuci ini.
Rasa kantuk sudah tidak tertahan, menutup mulutnya ia menguap. Dia melihatnya mengantuk segera membawanya gaya putri.
"Eh."
"Ngantuk?" Melihatnya mengangguk, "Tidurlah."
"Bangunkan aku jam 5 yah." Memegangnya bersandar pada dadanya yang hangat hanya bisa pasrah. Masih ada waktu 2 jam untuk bangun pikirnya.
"Jangan khawatir. Kau bisa tidur lebih lama, biar aku menyiapkan sarapan." Berjalan perlahan keluar kamar mandi menuju tempat tidurnya.
Tidak ada jawaban dan ia tidak perlu. Meletakkannya hati-hati, menumpukkan kepalanya pada tangannya dan memeluknya menyelimutnya hangat. Secara otomatis mengatur diri. Mereka tertidur damai meninggalkan kekacauan sebelumnya. Bersiap hari esok sambil menanti anggota baru keluarga mereka.
Tamat.
Pasangan manis dengan adegan sedikit romantis. Mungkin. Sigh.
Tetiba ngetik gini aja 😅
Yuk mampir ke olshop aku ada novel bekas yang dilepas siapa tau minat 😅
Happy-happy our days 😘Edit. Sedikit pengumuman, skrg aku sudah buat akun youtube channel, boleh mampir2 :D
Nama channelnya sama seperti akun ini, My Skylight dengan gambar profil sama jg :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot, Tsubasa Sanae
FanfictionDisclaimer : © Yoichi Takahashi Pair : Tsubasa Ozora X Sanae Nakazawa Rated : M (for reasons) Cover : ggwpid Sinopsis: Kumpulan cerita singkat tentang kehidupan romansa antara karakter utama, Tsubasa Ozora dan karakter pendampingnya, Sanae Nakazawa...