Happy reading guys😘
Tepat pukul 2 pagi, Aiden masuk ke dalam rumahnya. Dia berjalan santai menaiki tangga sambil memainkan jaket di tangan kanannya.
Ketika akan membuka pintu kamar, sebuah suara dari kamar di depannya membuatnya berhenti, kemudian memutar tubuh.
"Dari mana kamu, jam segini baru pulang?!"
Aiden diam, kepalanya menoleh ke sekitar juga ke dalam kamar Ayahnya seperti mencari sesuatu.
"Cari apa kamu?" tanya Bram, Ayah Aiden.
"Oh enggak, cuma heran aja. Ayah jam segini di rumah tapi sendirian. Jalang Ayah kemana? Stoknya abis? Mau Iden bantu cariin gak?"
Bugh.
Aiden tersungkur. Tepat setelah pertanyaan penuh hinaan itu terlontar, Bram langsung memukul wajahnya. Tangan Bram terkepal terkepal di samping tubuh, buku jarinya sampai memutih menahan amarah, dia merasa dipermalukan oleh anaknya sendiri. Sementara Aiden, hanya terkekeh sinis sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
"Kenapa, Yah? Malu? Iden kira semenjak Ayah sering bawa jalang-jalang itu kerumah, Ayah udah gak punya malu."
"Kurang ajar kamu." Bram maju, menendang perut Aiden membuatnya kembali tersungkur. Dan lagi-lagi, Aiden hanya terkekeh sinis.
"Iya, Iden emang kurang diajar. Soalnya kan Ayah sibuk sama jalang Ayah yang ganti mulu setiap hari itu. Udah ah, Yah. Iden cape, mau tidur. Kita berantemnya besok pagi aja. Ayah siapin asuransi dulu buat kita berdua, siapa tau nanti ada yang sekarat." Aiden menutup pintu kamarnya begitu saja, mengabaikan Ayahnya yang mengumpat di luar sana kemudian membaringkan tubuhnya di kasur.
Dia menghela napas panjang. Sebenarnya, dia lelah terus menerus begini. Selalu adu mulut dan adu fisik saat bertemu Bram. Tetapi dia juga tidak bisa berdamai dengan Ayahnya itu. Setiap melihat wajah Bram, amarah langsung muncul dalam hatinya. Bayangan Bram bergonta-ganti wanita setiap hari, bayangan Bram memukul juga memaki ibunya, bayangan ibunya ditemukan tergeletak di dapur dengan keadaan nadi yang putus juga darah di mana-mana membuatnya sangat membenci Bram.
Desita. Ibunya itu memilih mengakhiri hidupnya dua tahun lalu karena lelah dengan segala macam kelakuan Bram yang menjijikan. Dan yang lebih menyakitkannya lagi adalah kenyataan bahwa Ayahnya tidak perduli. Saat diberi tahu kalau Desita meninggal, Bram hanya datang sebentar, itu juga bersama seorang wanita yang entah dari mana asalnya. Memberikan uang pada pembantu untuk mengurus pemakaman Desita, kemudian pergi. Tidak bertanya apa penyebab istrinya itu meninggal, bahkan hanya menoleh sekilas pada Aiden yang sedang menangis di samping jasad Ibunya.
Aiden muak. Umurnya 15 tahun kala itu. Umur yang cukup untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Jadi, semenjak hari itu, Aiden berubah. Tidak ada lagi Iden si penurut, tidak ada lagi Iden yang selalu duduk hingga tengah malam di ruang tamu, menunggu Ayahnya pulang hanya untuk menunjukkan lembar ulangannya yang bernilai sempurna. Dia berontak, mulai merokok, ikut tawuran hingga balap liar sampai Ayahnya harus bolak balik ke sekolah untuk dimintai pertanggungjawaban.
Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk bergabung dengan komplotan para pengedar narkoba di usianya yang baru menginjak 16 tahun. Semua itu dia lakukan untuk membalaskan dendamnya pada sang Ayah. Ayah yang membuatnya kehilangan ibu yang sangat dia sayangi, Ayah yang sangat memalukan, Ayah yang bahkan tidak pantas disebut Ayah.
Entah terbuat dari apa hati Ibunya, meskipun akhirnya memilih bunuh diri, menurut Aiden, Ibunya sangat sabar menghadapi segala tingkah memuakan Bram. Ketika Bram berulah, entah memukul atau memaki. Desita hanya akan diam, menangis, lalu merengkuh tubuh Aiden sembari berkata, "Maafin Ayah ya, Aiden. Maafin Ayah." Aiden yang belum terlalu mengerti saat itu hanya mengangguk. Mengiyakan permintaan Ibunya karena berfikir, semua itu bukan masalah besar. Dia akan memaafkan Bram dengan mudah. Namun kelamaan, dia sadar betapa brengseknya Ayah yang dia banggakan itu. Sialan! Aiden benci mengingat semua ini.
Dia kembali menghela napas. Matanya menerawang ke arah langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu. "Maafin Iden, Mah. Maaf Iden buat Mamah kecewa. Tapi Iden bener-bener gak bisa buat maafin Ayah lagi. Maaf." Saat memejamkan mata, satu tetes airmata jatuh ke pipinya.
Iya, dia Aiden. Aiden Sagara Bayu. Hatinya serapuh dahan kering. Tetapi topengnya sekuat baja.
Tbc.
Kesel ya sama Aiden?
Atau malah kasian?
Aku mah sayang masa😅😂
Jangan lupa vote+komen ya😍
See you❤️Salam,
JhangianiTegal, 29 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Drugs in love (Belum Revisi)
Roman pour AdolescentsKesalahan terbesar dalam hidup Aiden adalah menjadikan dirinya sebagai salah satu anggota komplotan besar para pengedar narkoba di usianya yang baru menginjak 16 tahun. Kekecewaan pada sang ayah yang membawa Aiden memilih jalan ini. Bukan untuk uan...