10:friend

181 21 5
                                    

Aku menyeret langkahku dengan gontai keluar kelas saat bel pulang berdering. Seharian aku mencari Tristan tapi tak kutemukan batang hidungnya. Aku mendesah putus asa. Tristan benar-benar menghindariku.

"Jas, tidak apa-apa?" tanya Hellen, teman sekelasku yang terkenal paling seksi di kelas.

"Tidak apa-apa."

"Oh, ya sudah." Hellen berlalu meninggalkanku yang kembali berjalan dengan gontai. Aku tidak tahu dimana Nadine, pokoknya setelah dari istirahat, muka imutnya tampak selalu ditekuk bahkan pulang pun lebih dulu.

"Jas, Ms. Hope mencarimu. Ditunggu di gudang sekolah."

Seorang temanku dari kelas lain, Mike, berteriak sambil lalu padaku.

Ms. Hope? Aku berpikir. Ia guru Sejarah kami yang terkenal galak. Tapi aku penasaran mengapa ia mencariku di jam pulang. Dan kenapa harus di gudang? Aku berpikir sambil memutar kaki menuju arah berlawanan dari gerbang sekolah.

Aku harus cepat, kalau terlambat, Ms. Hope pasti akan marah. Makanya aku berlari menuju gudang sekolah, sebuah ruangan kotak yang tak terurus yang letaknya paling ujung dari gedung sekolah kami.

Sesampainya di sana, mataku mengedar ke segala arah. Mencari sosok tinggi berambut pirang pendek dengan stelan mahal dan high heels lumayan tinggi. Tapi tak ada seorang pun di dekat gudang.

"Sialan, aku dikerjai Mike!" gumamku kesal.

Baru berjalan beberapa langkah, aku mendengar suara-suara gaduh agak ke belakang gudang itu, tertutup semak dan pepohonan.

Karena penasaran, aku mengendap dan mencari tahu. Meskipun aku tahu akan berbahaya kalau aku terlibat dalam masalah baru yang akan mengancam keselamatanku.

Mataku membelalak lebar saat melihat sosok tinggi dan keren dengan muka tampannya yang datar, memukuli dengan membabi-buta pada seorang pemuda yang mengenakan seragam persis kami. Pemuda itu membungkuk ke arah tanah, tampak kepayahan dan sulit untuk bangkit, apalagi melawan. Tak jauh dari mereka, kulihat wajah juniorku, Diana, meringis dan menjerit setiap lelaki kalap di depannya melayangkan tinju ke wajah dan badan lawannya.

"Tristan!"

Aku langsung keluar, membuat Tristan dan Diana menatapku dengan terkejut.

"Hentikan!" Aku menatap Tristan dengan setengah marah juga takut. Entah mengapa Tristan mengamuk seganas ini. Iya, aku memang tahu Tristan punya emosi yang naik turun, tapi selama beberapa tahun ini ia selalu pintar mengendalikannya.

Aku menatap lawannya yang terengah-engah, berusaha menggapai meminta pertolongan. Tangan lemahnya terulur padaku. Dan aku terperangah saat tahu ia adalah Tyler.

"Ty?!" Aku membalas uluran tangannya, tapi belum sempat menggapainya, Tristan langsung menarikku ke belakangnya.

Aku menatap Tristan marah. "Tris, kenapa Tris?" Mataku menatap tajam mata Tristan yang menyorotku seakan menusuk. Wajahnya datar tanpa ekspresi tapi rahangnya mengetat.

"Kenapa kau memukuli Ty?" tuntutku. "Kenapa Tris? Jawab!" Aku mengguncang tubuh Tristan dengan air mata yang jatuh tanpa kusadari.

Tristan menyentak tanganku. "Jadi kau menangis karenanya?" suara Tristan terdengar dingin dan tajam. "Kau membelanya? Kau membentakku karenanya?"

Aku langsung terkesiap. Tidak berani menatap Tristan yang akan kalap lagi.

"Kenapa kau membelanya, Jazz? Kenapa?" Keadaan terbalik, kini Tristan yang mencecarku. "Padahal aku melakukan ini semua karena kau!"

"Tatap aku, Jazz! Tatap aku!" teriaknya di telingaku.

Aku terhenyak dan langsung menatap wajahnya. Ada sirat terluka di matanya. Wajah tampan yang kuyu dan sebuah lebam di sudut bibirnya. Rupanya Tyler sempat memberi perlawanan sebelum ia terpojok dibawah kaki Tristan.

FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang