Episode 3 Untuk Jiwa Yang Tak Dilupakan

55 5 2
                                    

"Manusia tidak selalu diingat oleh manusia lain. Manusia butuh cara untuk pantas diingat."


Ryan Anugrah


Setiap hari adalah berbeda. Kemarin, sekarang dan lusa adalah waktu yang berbeda. Hanya saja terkadang kita mengisinya dengan rutinitas yang sama. Terkadang ingatan manusia terbatas, apa yang manusia lakukan kemarin belum tentu hari ini ia mengingatnya dan apa yang ia lakukan hari ini belum tentu besok ia masih mengingatnya.

Secangkir kopi hitam dengan kepul asap melayang di atasnya ku nikmati pagi itu. Jendela kamar yang terbuka menghadapkan mata pada pemandangan sungai Musi yang airnya kecoklatan. Ku resapi setiap alirnya dari hulu ke hilir. Terlihat juga jembatan Ampera yang gagah di sudut timur sedang menyalami pengendara pagi itu.

'Sepertinya ia memang benar-benar lupa atau bahkan tak mengenaliku,' batinku dalam hati. Aku mulai kembali mengingat pertemuan kemarin dengan Risa. Ia tak banyak berubah, rambut hitam sebahu, kulit putih dan paras yang lembut. Satu lagi matanya yang teduh tentu tak bisa ku lupakan.

Aku hanya mengulum senyum. Meletakkan gelas kopi yang makin tampak ampas di dalamnya ke atas meja, "mungkin saja butuh waktu," gumamku kecil.

"Siapa yang butuh waktu?" tanya Tante Yuli yang ternyata berada di belakangku. "Kalo kamu yakin sama seseorang, kenapa nggak mencoba. Kalo hanya diam, kamu hanya akan kalah dengan waktu yang tak pernah berhenti bergerak maju, laki-laki itu harus berani juga tanggung jawab terhadap perasaannya" telak, ucapan Tante Yuli tak sedikitpun bisa ku jawab.

Setakut itukah diriku? Menelantarkan perasaan yang sudah ku pendam lama, tanpa mencoba sedikit saja untuk usaha? Sialnya aku memang terlalu takut.

Ku kemasi waktu juga beberapa buku, memasukkannya ke dalam tas. Bersiap untuk segera pergi ke kampus dan sepertinya Restu sudah menunggu di depan rumah.

Restu adalah sahabatku sejak SMA kami dari satu sekolah yang sama di Jakarta. Melanjutkan kuliah yang jauh dari daerah asalnya, padahal di Jakarta ataupun di sekitarnya banyak sekali kampus-kampus elit yang berhamburan, 'cari pengalaman di negeri orang' ucapnya waktu itu. Ya, barangkali kita memang butuh suasana baru untuk lebih menikmati kehidupan, menyusun lembar pengalaman, dan sedikit keluar dari zona nyaman.

Setelah memutuskan untuk kembali ke kota ini. Aku harus rela meninggalkan keluarga ku di Jakarta. Salah satu alasannya; kuliah. Selebihnya memang ada hal yang harus ku tuntaskan. Di sisi lain aku kembali berjumpa dengan Oma dan Tante Yuli yang sudah beberapa tahun berpisah, karna aku dan orang tua ku harus pindah ke Jakarta. Lebih tepatnya ayah dipindah tugaskan.

Restu tinggal tepat disamping rumah Oma, rumah yang kutinggali saat ini. Aku beberapa kali menawarinya untuk tinggal saja dengan ku di rumah Oma, namun ia menolak dengan sopan dan lebih memilih untuk menyewa kamar kost. Aku sadar betul, bahwa seorang pria memang terlalu tinggi egonya. Tak ingin merepotkan dan mencoba untuk hidup mandiri. Tidak ada yang salah dengan itu. Sah-sah saja, sudah seharusnya pria memang demikian.

***

Masih ada beberapa menit sebelum kelas dimulai. Aku dan Restu baru saja sampai di kampus. Memarkirkan motor, lalu berjalan santai melewati beberapa taman dengan air mancur di tengahnya. Hanya celana jeans dan kemeja hitam yang ku padankan dengan style kemeja masuk ke dalam celana. Aku hanya menyukainya. Ku anggap itu terlihat rapi. Tidak bermaksud untuk menarik perhatian manusia lain.

"Restu....." teriak seorang wanita yang berdiri di seberang. Ia memanggil manusia di samping ku. Restu. Restu membalas sapaan itu dengan lambaian tangan ke kiri dan kanan dibarengi dengan senyum khasnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Belum DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang