30. Nyerah? Jangan!

99 24 19
                                    

"Aku suka sama kakak."

"Aku suka sama kak Nora."

Langkah Barga terhenti sebelum sampai di bibir rumah. Dia terdiam dan tidak bergeming dari posisinya, mencoba mencerna apa yang terdengar barusan. Juga menepis kemungkinan buruk yang tengah menari di kepala.

Lelaki lurus itu buru-buru menatap Bagas yang entah dari kapan sudah ada di dekatnya.

"Dek, kamu masih kecil. Gak boleh-"

"Gak boleh apa, Kak? Bagas gak boleh suka sama kak Nora, ya? Masakan kak Nora kan enak, makanya Bagas suka! Memangnya kenapa, Kak?"

"Oh, gi-gitu toh. Gak kenapa-kenapa sih."

Barga benar-benar bersyukur bahwa Bagas masihlah kecebong imut yang hanya tahu makan dan bermain.

Eh, iya. Tadi Nora kayaknya bilang sesuatu. Apa ada yang ketinggalan di dalem?

"Kakak suka kak Nora juga, kan? Kak Nora baik, ya!"

Deg!

Terkutuklah kepolosan Bagas yang bisa berujung pada keambiguan.

"Haha! Iya, kakak su-suka juga kok. Masuk, yok. Udah malem nih, dek. Buruan tidur."

Satu hal yang dirasakan remaja kurus itu saat memberi tanggapan atas pertanyaan si adik. Jantungnya berdetak dengan kelajuan penuh, apalagi ketika mengucapkan kata 'suka'.

🍵

Beralih ke markas, tepatnya studio musik tempat Rival and the gang menghabiskan malam bersama sebelum larut. Tadinya, remaja perokok satu ini sudah hampir sampai ke rumah. Namun, vespa kesayangan seolah meminta putar balik ke studio.

Pasti kalo gue pulang, bakal panas dengerin bacotan dokter-dokter hebat itu. Ibarat dah jatuh, malah ditimpa tangga, bukannya dihibur. Pokoknya gue mau menghabiskan malam sepenuhnya di sini aja!

"Lah, Val. Kok lo balik lagi? Perasaan gak ada yang ketinggalan."

Tertangkaplah sosok Alex, drumer yang kebelet betul pacaran sama lem glikil Rival. Di otak dia cuma ada Sindi, Sindi, dan Sindi. Tanpa peduli betapa low-nya akhlak itu nenek lampir.

"Ngapa? Gak suka? Lo sendiri kok masih di sini? Bukannya gue dah nyuruh pulang?"

"Bangke, ditanya baek-baek malah sewot."

"Wowowow. Santai, bro. Napas dulu coba," sahut Irgi yang baru nongol. Farhan menyusul di belakangnya dengan secangkir kopi dalam genggaman.

"Mari bertumbuk, eh- maksud gue jangan bergelud," timpal Farhan yang matanya tinggal 5 watt.

Setelah mereka semua masuk ruangan di lantai dua lalu duduk santai, barulah Alex berani membuka percakapan-

"Udah marahnya? Perlu gue sembur air suci satu-satu dulu, gak?"

-tapi keburu diembat duluan sama member paling kalem yang sialnya punya mulut asin gak ketulungan.

"Kayaknya gua kalo deket-deket Farhan ini bawaannya pengen ngabsen penghuni kebun binatang mulu, dah."

Alex membuat ekspresi mirip om-om pangkalan ojek yang kesal karena ada saingan baru. Tak lupa, jari tengah kedua tangannya berdiri sendiri di antara jemari lain yang tengah bersujud. Kemudian diangkat dekat-dekat ke depan wajah pemegang bass yang sedang berusaha untuk tidak menyemburkan kopi dari mulut.

Melihat suasana asique ini, rasa dongkol di hati satu-satunya penyumbang suara emas dalam ansambel musik beranggota 4 orang sedikit berkurang.

Air mata imajiner seolah turun membasahi pipi tirus Rival. Dia pun mengambil kertas merah bertuliskan ‘Seratus Ribu Rupiah’ dan mengusapkan ke wajah layaknya sehelai tisu. Sebelum akhirnya memasang wajah haru yang dibuat-buat.

Sketchbook ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang