satu

72 9 1
                                    

Alana baru saja keluar kamar ketika kedua orang tua nya bertengkar, hebat sekali sampai mampu membangunkan kucing peliharaannya yang sedang terlelap. Gadis itu berjalan tak acuh, seakan akan tak ada yang terjadi. Melenggang pergi ke meja makan dan melahap sarapannya.

Si Ibu yang pertama menyudahi pertengkarannya, menghampiri anak semata wayangnya, mengelus kepala dengan sangat penuh kasih sayang. Sedangkan Kepala keluarga berlalu begitu saja, tanpa ada kata maaf ataupun rasa sesal.

"maaf," satu kata yang lolos dari bibir Ibu, lalu ia melanjutkan "maaf karena tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu." Isakan kecil terdengar ditelinga Alana. Gadis itu berhenti mengunyah, memeluk Sang Ibu.

"Aku yang minta maaf," ucapannya terhenti ketika matanya memburam seketika, "aku emang gak bisa banggain kalian berdua, aku gak berguna."

Pagi itu, mendung menghiasi mereka berdua. Yang pada kenyataanya cuaca sedang sangat bergembira. Awan kelabu ikut menelusup diantara celah keduanya. Pelukan semakin erat, seolah mengatakan tidak untuk kata pisah.

Ketika Alana sudah lebih baik, Gadis itu tidak melanjutkan sarapannya, bergegas menuju kampusnya. Tempat dimana sejenak Ia bisa menghirup segarnya udara. Menanggalkan segala rasa, mengunci nya bersama keping keping asa. Dirumah yang penuh duka.

°

Satu jam lebih waktu yang Alana butuhkan untuk menuju kampusnya dengan ojek online. Langit sebiru warna telaga, jalanan padat merayap, dan asap kendaraan adalah hal yang Alana perhatikan selama diperjalanan. Setiap harinya selalu sama, tak ada yang berubah.

Akhirnya gadis itu sampai tujuan.

Baru saja bokongnya ia duduk'kan di kursi kelas itu, temannya datang dengan pertanyaannya "Al, kamu udah belum ngerjain tugas Bu Yuna?" Alana menggeleng, "belum, aku gak tau harus mulai darimana."

"Sama dong, aku juga, susah banget kalo ngasih tugas." Gadis dihadapan Alana mencebik tak suka. Lalu mengajaknya untuk mengerjakan bersama, Alana mengangguk mengiyakan. Lagipula Ia memang tak bisa mengerjakannya seorang diri.

Kelas dimulai seperti hari hari sebelumnya, yang membedakan hanya satu, lelaki yang selalu ada di pojok itu tak menampakkan batang hidungnya. Alana sempat mencuri curi pandang ke arah sana, dan memang benar, lelaki itu tak ada disana.

Setelah mengisi kelas pertama, Alana dan Kayina--temannya yang tadi--beranjak menuju kantin, mengisi perut yang keroncongan bak sedang berpesta. Kay tiba-tiba menghentikan langkahnya, "Al, arah jam sepuluh, ada cogan," katanya. Alana menengok dan benar saja ada lelaki disana.

Dia mengerutkan keningnya dalam dalam, menilik siapa orang disana. Bukan.. bukan cogan yang Kay maksud yang sedang ia tatap, melainkan lelaki dibelakangnya. Alana berbisik ditelinga Kayina, "Lucas berangkat, tapi kok tadi gak ada dikelas?"

"Ah, iya, Lucas titip absen sama aku," jawabnya sambil mengangguk. Setelahnya Kay menarik Alana menuju kantin. "Dia males ketemu Pak Eko katanya."

Alana hanya mengangguk, padahal pikirannya sedang melanglang buana entah kemana. Keduanya sampai di kantin fakultas, menyantap pesanan masing masing sambil sesekali bergurau seperti kebanyakan orang.

"Aku 'kan tadi udah bilang sama kamu, Al," ucapan Kay membuat Alana kembali dari lamunannya, "bilang apa?" tanya gadis itu polos.

"Tuhkan, kamu kenapa sih? akhir akhir ini sering banget ngelamun." Alana hanya terkekeh menanggapinya, "Aku cuma mikirin tugas," akunya.

"Dih, gak biasanya kamu kayak begitu"

Sedangkan Alana hanya mengedikan bahunya, mereka kembali menyelami pikiran masing masing.

Kelas kedua dimulai, lalu berakhir. Seperti itu terus sampai kelas terakhir di hari Rabu ini. Tak ada yang istimewa dihidupnya, mungkin ada, dan itu sangat langka.

Seperti kali ini, Lucas mengajaknya pulang bersama, Sebagian dari Alana ingin menolak, tapi sebagian lagi ingin mengiyakan. Akhirnya pilihan kedua menjadi jawaban, Si puan berpikir jika tidak ada kesempatan kedua.

°

Keduanya mampir di toko buku ketika tiba tiba hujan mengguyur bumi. Lucas meminta maaf karena lelaki itu tak membawa jas hujan disaat musim pancaroba seperti sekarang.

"Gapapa Cas," tenang si Puan. Gadis itu memasuki toko, sedikit melihat lihat. Lucas menghampirinya, " Kamu suka baca novel 'kan?" Alana mengangguk, gadis itu mengambil novel yang sama seperti yang ada di rumahnya.

"Ini novel bestseller, mungkin kamu akan suka," tangannya terulur menyerahkan novel digenggamannya pada lawan bicara. "Aku gak suka baca novel, bukan style ku sekali," jawabnya sambil menerima buku itu.

"Tapi aku akan membelinya," Lucas membaca sejenak sinopsis novel biru itu, " untuk hadiah seseorang," lanjutnya.

Ada bunyi yang sangat memilukan namun anehnya sepi, disana, didasar hati Alana yang paling dalam, retak tercipta.

Gadis itu tersenyum lalu mengangguk kecil, "itu memang bagus jika dijadikan hadiah, sangat recommended." Alana menekan rasa sakitnya sedalam mungkin, Ia harus sadar bahwa ia bukan siapa siapa.

Hujan diluar sana semakin lebat, dan sepertinya jenis hujan yang akan awet hingga purnama datang. Lucas berinisiatif memesankan taksi online untuk Alana, tapi si puan menolak. Gadis itu memilih menghubungi ayahnya, namun sayang jawaban tak kunjung didapatkan.

Ayahnya tak mengangkat panggilan itu. Alana meringis membayangkan ayahnya yang tak akan sudi menjemputnya, apalagi setelah pertengkaran tadi pagi.

Dan dengan berat hati, mereka berdua menerobos rinai hujan disore itu. Di jok belakang, Alana menghirup oksigen dalam dalam, lebih tepatnya menyimpan aroma tubuh Lucas dalam ingatan.

Menguncinya bersamaan dengan aroma hangat hujan, walau tak terlalu kentara. Tak ada pembicaraan antara mereka, Lucas yang sibuk menyetir diderasnya hujan, Alana yang sedang menata pikiran, jiwa, dan hatinya.

Hujan dibulan November, kata sebagian orang sungguh membawa kebahagiaan, dan kata sebagian lainnya membawa luka yang menyesakkan. Dan Alana adalah bagian diantara keduanya.

Kedua nya sampai di kediaman Alana dengan keadaan basah kuyup, dan yang membuat semakin jengkel ketika hujan tiba tiba berhenti. Sungguh seperti hujan di sinetron sinetron, tapi Alana bersyukur setidaknya ada bagian dari Lucas yang telah ia simpan.

"Mau mampir dulu, gak?" tawar gadis itu. Lucas menggeleng, "nggak deh, Al. Aku ada urusan lagi."

"Tapi baju kamu basah, bisa sakit nanti," si puan mencoba memberi saran, lagi. Masih seperti tadi, gelengan yang Alana dapatkan, "kamu bisa pake baju ayahku kalau mau."

"Kamu masuk aja, ganti baju, kamu juga keujanan. Bukan cuma aku," ada jeda sedikit sebelum Lucas melanjutkan, "aku kuat kok, Al." Senyumnya menyihir Alana untuk tersenyum juga.

"Yaudah, hati hati ya," salam perpisahan diantara keduanya. Lucas melajukan motornya, Alana melambaikan tangannya. Dan seseorang disana menahan api cemburunya. Setelah berjam jam menjadi detektif dadakan, dia harus melihat kenyataan.

Gadisnya, ah ralat, gadis yang ia suka, menyukai orang lain. Laki laki itu melajukan mobilnya, terlampau emosi mungkin hingga tak sadar ia terlalu kencang menekan gas. Alana melirik sekilas, sebelum masuk kerumahnya.

Sedangkan dilain tempat, tepatnya di mobil merah itu, si lelaki terus mengumpat.

Si lelaki enggan jika harus terus menerus menjadi bayangan, berjalan dibelakang, dan menyaksikan tangan si puan dalam gandengan.

°

untuk part ini masih sama seperti sebelum di revisi, tapi nanti alurnya bakal berubah dari outline yang pertama aku buat. maaf banget untuk ketidaknyamanan nya. hope u like it💛

ch'
-2020

[ON HOLD] orenda-- hendery wayvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang