PROLOG

1.3K 148 21
                                    

Bel istirahat berbunyi nyaring tepat pukul dua belas siang. Kantin sekolah seketika dipenuhi oleh murid-murid kelaparan. Penuh dan sesak. Bahkan mereka sampai harus berdesak-desakan untuk berebut tempat.

Hawa panas menyeruak keluar. Terasa menyengat sampai bagian depan kantin. Kepala Jennie menggeleng melihat pemandangan itu. Ia enggan makan di antara kumpulan orang kelaparan di sana. Lebih baik menahan lapar hingga kantin sepi daripada harus memaksakan diri terjun ke sana, bukan? Keringat, asap, panas Jennie bergidik ngeri membayangkan dirinya masuk dalam predikat jajaran murid rakus itu. Jennie lebih senang menyebut mereka rakus daripada kelaparan, karena memang begitulah kelihatannya.

“Jennie-ya, ayo!” ajak Eunha yang sudah berada satu langkah di depan Jennie. Ia siap mengajak teman barunya itu berebut kursi dan meja dengan murid lain untuk mendapat tempat. Namun, Jennie malah termenung tak menjawab. Kening gadis itu lantas mengernyit ketika temannya justru menggeleng sembari mundur menjauh. “Kau tidak mau makan?”

Kepala Jennie menggeleng lagi. “Kau duluan saja. Hari ini aku sedang tidak mau makan.”

Eunha mencibir sembari mengangkat kedua bahunya. “Ya sudah.” Perempuan itu lantas berlari memasuki kerumunan orang kelaparan di kantin. Menyelinap di antara sela-sela tubuh murid yang tengah mengantre pesanan di depan warung. Membuat kesusahan orang lain yang ingin lewat untuk mencari tempat. Jennie menelan salivanya kasar. Ia segera berbalik karena enggan menatap lebih lama pemandangan kotor di kantin sekolahnya itu.

Jennie berjalan menyusuri koridor kelas dengan langkah lesu. Di sana terasa begitu sepi. Mungkin karena sebagian atau bahkan seluruh penghuni sekolah tengah berburu jajanan di kantin. Perut gadis itu berbunyi ketika belok di pertigaan lorong. Jennie menggerutu kesal. Mengutuk dirinya sendiri karena kesiangan hingga melewatkan sarapan.

Gadis itu terus berjalan sampai taman. Suasana masih lengang. Hanya ada satu-dua murid tengah bersenda gurau di sana. Selebihnya hanya kesunyian yang menyertai. Jennie heran, mengapa di sekolah sebagus ini semua muridnya harus berlagak seperti anjing kelaparan ketika bel istirahat berbunyi? Bukankah lebih baik membawa bekal sendiri dan makan di taman atau kelas? Itu lebih efektif dan terjamin kebersihannya.

Tangan gadis itu segera merogoh saku rok ketika duduk di salah satu kursi taman. Ia mengambil tisu dari sana. Segera mengusap kedua telapak tangannya yang terasa basah. Di dalam saku roknya memang selalu tersimpan rapi tisu basah sekaligus kering. Untuk jaga-jaga jika suatu saat dia secara tidak sengaja menyentuh sarang kuman. Gadis itu begitu mencintai kebersihan. Ia sama sekali enggan bercengkerama dengan alat atau benda yang terlihat kotor.

Perutnya kembali berbunyi. Jennie mengembuskan napas perlahan sembari menengadah. Menatap pohon palem yang tumbuh cukup rindang di belakangnya. Daun pohon itu terjulur di atas bangku taman. Memberi kesan sejuk ketika angin berembus pelan. Perut Jennie berbunyi sekali lagi. Gadis itu menutup matanya sembari memegangi perut. Terasa perih. Baru kali ini Jennie harus menunda makan sampai siang.

Ketika membuka kembali mata, dia mendapati sebungkus roti isi dan sekotak susu berada di atasnya. Jennie segera menegakkan tubuh. Berbalik melihat siapa yang melakukan itu. Kedua alisnya sontak menyatu saat menatap seorang lelaki dengan senyum manis tengah menyodorkan dua makanan tersebut padanya.

“Kau pasti lapar. Ambil saja jika mau,” ujar lelaki itu pelan. Senyum cerah masih terpampang nyata di wajah. Membuat dua mata teduhnya berubah menyipit ketika lekukan tersebut muncul.

Jennie masih diam. Dia tidak melakukan apa pun kecuali memandang lekat lelaki itu. Karena barangnya tak kunjung diterima dan tangannya mulai terasa pegal, lelaki di hadapan Jennie menyimpan roti isi dan susu tersebut di ruang kosong sebelahnya. “Kau tenang saja. Itu masih baru. Aku bukan membelinya di kantin, tetapi koperasi sekolah. Jadi, kau tidak perlu membersihkannya dulu.”

Mata Jennie terarah pada badge nama di seragam lelaki itu. Sulaman benang hitam membentuk nama Kim Jisoo tertera di sana. Jennie kembali menatap Jisoo yang kini sudah berbalik dan berlari menjauh. Menyapa dan melakukan high five dengan beberapa siswa yang tengah berjalan di sisi lain taman. Mungkin baru selesai makan di kantin sekolah. Mereka bertiga berjalan beriringan memasuki koridor. Sebelum benar-benar menghilang di balik tembok lorong, Jisoo sempat menoleh lagi pada Jennie. Mengangkat jempol tangan kanannya ke atas sembari menampilkan senyum cerah.

Jennie terpana selama beberapa saat. Tetap diam di tempat sampai bel sekolah berbunyi singkat. Pertanda jika lima belas menit lagi jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai. Jennie melirik makanan yang Jisoo simpan tadi. Terdapat secarik kertas putih di atasnya. Dia mengambil itu.

To: Jennie Kim

Hi! Selamat menikmati makan siangmu. Lain kali, jika kau sungkan makan di kantin, pergilah ke koperasi. Di sana banyak makanan sehat. Semoga kau betah sekolah di sini :)

From: Kim Jisoo 🐣

Senyum tipis menghiasi wajah Jennie setelah membacanya. Terlebih saat mengetahui ada gambar anak ayam yang sengaja Jisoo tempel di dekat namanya. Kepala Jennie menggeleng sekali lantas mengambil roti isi yang masih terbungkus rapi itu. Dia membukanya kemudian langsung memasukkan roti tersebut ke dalam mulut. Enak. Semua makanan pemberian Jisoo tadi masuk ke dalam daftar makanan yang tidak perlu dibersihkan dulu oleh tisu basahnya.

“Terima kasih, Jisoo ...,” gumam gadis itu sembari meminum susu kotaknya. Rasa vanila. Dari mana Jisoo tahu jika Jennie sangat menyukai vanila?

Jennie menghabiskan sisa makan siangnya sembari bersenandung riang. Gadis itu mengayunkan kedua kakinya yang menggantung di atas tanah. Hari ini, Jisoo menyelamatkan perut Jennie dari rasa lapar. Gadis itu akan selalu mengingat kebaikan yang sudah Jisoo beri.

“Kim Jisoo ...,” lirihnya lagi sembari membayangkan wajah tampan lelaki itu. Jennie tersenyum malu seraya menggelengkan kepala. Makan siangnya habis tak tersisa bersamaan dengan terdengarnya bunyi bel masuk. Gadis itu segera mengambil tisu, mengusap bibir, dan membuang sampah bekasnya ke tong sampah. Jennie berlari riang menuju kelas. Ternyata, hari pertama pindah ke sekolah baru tidak terlalu buruk. Tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Itu semua karena ada Jisoo. Lelaki tampan yang sudah membuat harinya berwarna.

***

.
.
.

Note:
Anyeong! Aku kemarin lagi iseng ngubek-ngubek draft cerita lama di hp dan nemu cerita ini wkwk aku lebih prefer cerita ini sih daripada Autumn in My Heart karena feel-nya lebih berasa, jadi aku bakal up cerita ini duluan, ya.

Oh iya, main couple di cerita ini tuh awalnya Chaelisa terus lead couple-nya Jensoo. Cuma, karena aku udah janji bakal up cerita baru tentang Jensoo makanya aku ubah Jensoo jadi couple utama terus Seulrene jadi yang kedua. Makanya, kalau kalian nemu bagian yang identik sama Chaeng tapi malah buat Jennie mohon dimaklumi, ya. Karena emang ini tuh tadinya buat Chaelisa dan aku mager rombak ulang 😂😂

Satu lagi, aku pernah up cerita ini di wp duluuuuuuuuu banget. Mungkin beberapa di antara kalian ada yang nggak asing lagi sama cerita ini. Buat yang dulu pernah baca, jangan spoiler ya heheh

So, happy reading and see u next chapter! 💚

Remember WhenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang