1-15 : Teman Bermainku

167 21 0
                                    

“...Na...”

“...Na Sella...!”

“Nona...!”

Kubuka mata, wajah Riel tepat di atasku menyambut. Karena suaranya aku tersadar dari mimpi yang sedang berlari mengejar suara panggilan itu. Apa jangan-jangan Riel yang memanggilku di mimpi itu....? (Deja vu)
bukan! Jelas-jelas itu suara laki-laki. Mana mungkin Riel.

Kulirik jam yang ada di atas pintu menunjukan masih jam empat pagi, yang kurasa matahari belum bangun dari tidurnya. Bahkan ayam belum jadwalnya berkokok.

“Ada apa Riel, membangunkanku pagi-pagi sekali.” tanyaku lirih sembari menguap dan mengeluarkan sedikit air mata.
Kali ini aku bermimpinya tidak sampai menangis! Rasanya aku sudah menaklukan sesuatu deh...

“Anda hari ini ada jadwal kedatangan tamu, yaitu teman yang Tuan Marlis kirimkan untuk menjadi teman bermain Nona.”

Tanpa basa-basi Riel menarik selimutku yang awalnya menutupi badanku dari udara dinginnya pagi buta. Aku menggigil dan menggosok kedua telapak tangan satu sama lain dengan cepat sampai merasa ada rasa hangat di telapak tanganku dan menempelkannya di pipi.

“Lalu siapa yang akan datang nanti?” tanyaku yang masih menempelkan kedua tanganku di pipi.

“Saya dengar beliau dari keluarga Chrysos.”

Riel mengangkatku dan mengendong, lalu berjalan ke arah kamar mandi.

“Keluarga Chrysos..?”

“Benar, beliau adalah kakak perempuan dari Tuan Alex.”

“Ouh... Kakak perempuan Alex kah... EH?”

Kenapa kakak perempuan Alex? Bukankah Papa menyuruhku agar tidak dekat dengan Alex. Kalau aku dekat dengan kakaknya pastinya aku juga dekat dengan Alex! Orang tua itu pikirannya kemana sih...?!

“Ada masalah apa, Nona?”

“Ti-tidak ada...”

Riel menurunkanku dan membantu melepaskan piyama yang aku kenakan. Sekali lagi dia mengangkatku ke dalam bak mandi.
Uhh...! Nyaman... inilah surga dunia! Kondisi air hangat ini rasanya seperti memijat-mijat seluruh badanku dan menghangatkannya.

Dengan terampilnya Riel membersihkan tubuhku cepat-cepat, karena ia khawatirkan aku akan masuk angin.

Keterampilan ini bukanlah hasil yang bisa didapatkan hanya belajar dalam hitungan hari, gerakannya terlihat seperti orang yang sudah biasa melakukan ini selama bertahun-tahun.

“Riel menjadi pelayan sejak umur berapa?” tanyaku sembari menyingkirkan rambut yang menempel di pipiku karena siraman air.

“Sekitar dari umur delapan tahun Nona.” jawabnya sambil membantu merapikan rambutku.

“Eh... Lama juga ya...”

“Saya bisa hidup dengan damai seperti ini juga berkat bantuan Duchees...” ucap Riel dengan kata-kata yang sangat dalam.

Berkat ibu? Sepertinya ibu Sella punya banyak misteri juga... aku hanya menghela nafas yang dapat membuang beban pikiran, walau hanya sedikit.

“Begitu, ya.”

“Iya, Nona.”

Dan percakapan pun berakhir... rasa canggung mencengkam sekeliling aku dan Riel. Tenggorokanku tidak bisa mengeluarkan kata apapun, karena dihentikan oleh otakku ‘jangan masuk terlalu dalam!’ terlintas tanda larangan itu.

Kalau dipikir secara logis itu adalah pilihan yang sangat tepat. Selama ini aku melewati batas anak umur empat tahun. Mulai dari bisa membaca, berbicara lancar, menanggapi ucapan seseorang... dan lain sebagainya.
Mana mungkin anak berumur empat tahun bisa melakukan hal semacam itu. Kalau anak seperti itu muncul dihadapanku mungkin sudah aku nyatakan sebagai anak jenius!

I Feel Happy or SadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang