BERAWAL

52 10 0
                                        

"Dapatkah aku menjadi seperti Fatimah Az-Zahra?" ucapku membaca sampul sebuah buku yang berada tepat dihadapanku saat ini.

Ya sekarang aku dan sahabatku Fiona sedang berada di salah satu toko buku favoritku. Setiap weekend aku pasti menyepatkan diri hanya untuk membaca ataupun membeli buku yang aku suka disini. Bagiku membaca itu adalah hal yang wajib harus dilakukan. Selain menambah ilmu, membaca juga dapat menghilangkan stres.

"Buku apaan ini?" tanyaku penasaran.

"Itu buku tentang akhlak mulia yang
dimiliki oleh putri kesayangan Baginda Rasulullah." jelas Fiona.

"Emangnya Kamu udah baca Fi?" tanyaku lagi.

"Udah dong" jawab Fiona.

"Sampul bukunya bagus banget sih,
bikin mata sejuk lihatnya."

"Bukan cuma sampulnya yang bagus
isinya juga bagus banget." jelas Fiona

"Mau baca? tawar Fiona.

"Nggak ah, aku gak suka baca buku
kaya gini, kalau novel sih aku mau."

"Bener nggak mau baca? Nyesel loh
kalau enggak baca soalnya isinya bagus banget."

"Masa sih Fi?" karena hasutan Fiona akhirnya akupun berkeinginan untuk membaca buku tersebut.

Fiona adalah salah satu sahabat karibku sejak SMA, sekarang kami kuliah di satu jurusan tetapi beda kelas. Dia orang nya muslimah banget, pakai gamis dan jilabanya pun panjang kalau masalah islami dia jago nya deh, karena kami beda kelas, jadi aku dan Fio jarang sekali bertemu di kampus.

"Fi, kita pulang yuk soalnya udah mau sore nih"

"Iya aku juga udah nemu buku yangmau aku beli, yuk kita pulang sekarang" jelas Fiona.

***

Keesokan harinya...

Jadi disinilah aku sekarang. Di Taman
yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Selagi bete liatin pemandangan taman
yang udah aku hapal banget, akhirnya
aku memutuskan membaca buku yang kemarin aku beli di toko buku dengan Fiona.

Aku membaca acak buku tersebut, mataku langsung tertarik pada halaman yang berjudul "Maut Menjemput Fatimah Az-Zahra"

Fatimah sangat menyayangi Rasulullah hingga pada saat Rasulullah terbaring sakit Fatimah tak henti-hentinya bersedih, hingga pada detik-detik dimana saat Rasulullah dijemput malaikat maut. Rasulullah membisikan kata-kata pada Fatimah "Aku akan pergi tetapi engkau yang pertama akan menyusul." mendengar perkataan itu sontak Fatimah merasa bahagia, ia bahagia karena ia akan segera meyusul kepergian ayahanda tercintanya.

Hingga tibalah malaikat mautlah yang
kini menjemputnya, sebelum malaikat maut menjemputnya ia bermimpi bertemu dengan ayah yang sangat ia cintai "Wahai Fatimnah! Aku datang memberi kabar gembira kepadamu, telah datang saat terputusnya takdir kehidupannya di dunia ini putriku. Tiba sudah saatnya untuk kembali ke alam akhirat!

Wahai Fatimah bagaimana
kalau besok malam kau menjadi
tamuku?" itulah yang Rasulullah
katakan pada Fatimah dalam mimpi itu.

Sebelum meninggal Fatimah menyisir
rambut kedua buah hatinya Hasan dan Husein dengan air mawar, ia mendekap dan mencium Hasan dan Husein dengan penuh kasih sayang, hatinya terus bergetar karena ia tahu kalau waktunya di dunia ini tak lama lagi.

Ali termenung seraya terus
memperhatikan Fatimah, lantas
Fatimah berkata "Wahai Ali, bersabarlah untuk deritaanmu yang
pertama dan bertahanlah untuk
deritamu yang kedua Janganlah
engkau melupakan diriku. Ingatlah
diriku selalu mencintaimu dengan
sepenuh jiwa. Engkau kakasihku,
suamiku, teman hidup yang terbaik,
teman diriku berbagi derita dan teman perjalananku." Lalu keempat orang itu menangis dan berpelukan.

Aku tak menyangka kalau cerita ini
berhasil membuatku menangis tersedu-tersedu. Rasa sesak seketika kurasakan.

"Ya Allah betapa mulianya seorang
Fatimah Az-Zahra." aku kembali
membaca halaman yang lain, halaman yang kini menarik perhatianku adalah halaman yang memiliki
judul "Fatimah sang Pemberani" aku kembali dibuat terpesona akan
sosok Fatimah, walaupun dia seorang
perempuan ia tak pernah merasa takut untuk membela ayah tercitanya dalam membela Agama Allah SWT.

Halaman demi halaman telah ku baca, hingga tiba pada sebuah halaman yang berjudul "Inilah Yang Harus Ku Pakai" halaman ini berhasil
membuatku merasa sangat malu, aku
kira cukuplah menggunakan baju
tertutup dan mengenakan jilbab maka perkara dalam urusan menutup aurat telah selesai tapi ternyata itu belumlah selesai.

Baru saja aku berniat membaca
halaman "Cinta Ali dan Fatimah,
Cinta dalam Diam Berbalut Doa"
ponselku sudah berdering dengan
kencang, tanpa melihat siapa yang
menelepon aku sudah tahu kalau ini
adalah telepon dari Nyonya besar, saat aku mau angkat telepon dari Ibu tiba-tiba hp aku mati karena lowbat, dan aku baru sadar kalau ibuku hari ini mau ngajakin aku ke pengajian.

"Oh tidak ini udah jam 5 sore itu berarti pengajiannya udah selesai" batinku setelah melihat jam ditanganku.

dengan langkah lebar dan terburu-buru aku segera menuju kembali ke rumah.

"Ibuu." panggilku mencari sosok
Ibuku tercinta.

"Sayang dari mana saja kamu dari tadi, kenapa nggak ikut pengajian? nadanya lembut tapi menipu, aku jamin bentar lagi Ibu bakal ngamuk-ngamuk.

"Sini!" dengan penuh
kewaspadaan aku menghampiri
Ibu yang terlihat sangat tenang
duduk di sofa yang terletak di ruang
keluarga, saking tenangnya Ibu membuatku semakin takut.

"Kenapa tidak ikut pengajian?" sekali
lagi Ibu menanyakan hal itu.Dengan ragu aku mengangkat buku yang sedari tadi tak pernah lepas dari tanganku "Zahra baca buku ini, saking asiknya baca buku Zahra enggak sadar kalau udah ngelewatin pengajian hari ini Bu." jawabku jujur, walaupun setengah. Padahal emang aku udah niat buat enggak ikut pengajian hari ini, tapi karena keasikan baca buku ini juga yang telah membuatku lupa waktu.

Ibu terus memperhatikan buku yang
masih ada di tanganku "Kapan kamu
akan mencontoh perilaku Fatimah Az-
Zahra?" pertanyaan Ibu berhasil
membuat diriku terpaku, dengan
lembut Ibu membelai pipiku "Ibu
menamaimu Zahra bukan tanpa alasan, Ibu menamaimu seperti itu karena Ibu berharap kamu akan menjadi perempuan sehebat Fatimah Az-Zahra."

Tak tahu kenapa seketika aku merasa
ingin menangis mendengar ucapan
Ibuku?

"Maafin Zahra bu." ku peluk erat
tubuh Ibu, tangis tak sanggup lagi ku
tahan. Ya Allah betapa banyak kesalahan yang telah ku lakukan selama ini, betapa banyak rasa kecewa yang telah ku torehkan kepada sosok wanita yng kini berada dalam pelukanku.

"Udah ah malu jangan nangis, masa udah gede masih aja nangis" canda ibuku

"Ibu juga nangis, nggak malu udah tua masih aja nangis?" ledekku tidak mau kalah

***

Menjadi Lebih BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang