Hari Aku Meninggal

4 0 0
                                    


Dari mana aku mulai? Mungkin dari bagaimana aku meninggal.

Itu adalah hari pengumuman kelulusan. Semua siswa kelas 12 dipastikan hadir di sekolah. Memory card kameraku sudah kukosongkan khusus untuk hari ini. Setiap tahun, klub fotografi akan bertugas mengabadikan momen kelulusan dan membuat YearBook.

"Makasih ya, Jose," ujar seorang siswi dari kelas 12 IPS 1 setelah aku mengambil foto dirinya yang mengenakan baju seragam penuh coretan.

"Thanks, Yos," sahut Putra, teman sekelasku di IPA 3. Kami memang jarang bicara. Tapi kami pernah sekelompok tugas Kimia. Dia bukan yang terparah.

"Hosea kan? Mainmu bagus. Kapan-kapan futsal bareng lagi ya."

Aku bahkan tidak yakin anak itu kelas 12.

"Josh!!"

Kalau yang ini aku kenal suaranya. Cewek dengan senyuman paling manis di sepenjuru sekolah. Cewek yang buat aku sesak napas sejak melihatnya di ospek. Hari ini dia menguncir rambutnya sampai kedua telinganya terlihat. Aku tidak percaya. Seragamnya tidak disisip dan warna putih abu hampir tidak terlihat lagi.

"Triny, lihat deh. Seragam Josh masih bersih!" kata Grace yang berjalan di belakangnya, "Kamu mau jadi anak SMA abadi?"

"Seragam ini bakal aku sumbangin," jawabku.

Tentu mereka tidak terima dengan alasan itu. "Halaaah.. Zaman sekarang mana ada yang mau pake seragam bekas? Bau ketek lagi," timpal Grace. Triny mulai mengocok kaleng cat semprotnya.

"Oh, sorry ya," aku mengangkat tangan, "Ketekku...."

"ADA WARNANYA!!" pekik Triny. Tidak tanggung-tanggung dua cewek ini menyerbu dari segala arah. Aku cuma bisa memeluk kameraku supaya tidak ada warna-warna tambahan di foto-foto selanjutnya.

Dalam sekejap, seragamku sudah dipenuhi garis-garis tebal berwarna yang saling-silang.

"Aku dan Triny pernah survey ke kampung Duri. Waktu itu kita juga sepemikiran kayak kamu, mau nyumbangin baju aja. Tapi, anak-anak di sana pada gak ada yang mau," ujar Grace.

"Terus kalau emang seragamnya mau disumbangin, ngapain dipake juga hari ini?" tambah Triny, "Itu kayak masang badan buat diterkam. Hahahahaha."

Kayaknya ini pertama kalinya aku lihat Triny tertawa dengan begitu lepas selama beberapa bulan terakhir. Ujian Akhir kemarin memang bikin dia stress. Tapi Triny belajar tanpa kenal waktu dan tempat. Ia layak tertawa sekeras-kerasnya hari ini.

"Mau difoto gak?" ajakku.

"Oh kita udah difoto Hizki kok tadi," kata Grace.

"Hizki, Aga, Jerome, Stefanus, Nugi, Komang, Mikael, dan hampir semua cowok IPS," tambah Triny, "Mereka semua pada mau foto sama Grace."

"Untung aja ada kamu, Triny. Kalau gak, sampai sekarang aku masih pose tuh di depan ruang guru. Ih, pak Subakat juga suka nimbrung-nimbrung sembarangan. Nyeremin banget."

"Mata keranjang..." bisik Triny.

"Oh, ya?" tanyaku.

Mereka berdua mengangguk.

"Kamu sekarang udah mulai berani gosip, ya," aku mencolek hidung Triny, "Gak baik, tahu."

"Aku dan Grace mau ke kantin. Mau ikut gak?" ajak Triny.

"Duluan aja. Aku mau foto sekolah dari luar dulu,"

"Ok. Hati-hati, ya," pesan Triny. Grace menarik tangannya sambil berlari ke arah kantin. Dia masih melihat ke arahku sambil tersenyum. Lalu, beberapa cowok menghentikan mereka untuk foto. Triny tak bisa menahan tawa melihat wajah Grace yang mulai jengkel.

Aku masih tidak percaya. Dua tahun lalu, Triny bahkan menangis kalau terlalu lama melihat pantulan bayangannya di kaca. Dia juga tidak mau bicara dengan siapapun.

Saat aku mengatakan perasaanku padanya, kami baru kelas 10. Triny mengira aku bercanda. Dia pernah menyiramiku dengan air saat aku "menembak"nya untuk ke lima kalinya dalam satu minggu.

Kalau waktu itu dia menolak, aku pasti langsung mundur. Tapi, masalahnya Triny tidak pernah memberi jawaban, bahkan lirikan. Aku semakin penasaran dengan dia. Itulah yang membuatku melompat dan berteriak sangat keras sampai ditegur pak Hendi, guru PKN, saat Triny berjalan dalam diam membelakangiku setelah dia bilang, "Iya."

Hari ini, aku melihatnya tersenyum untuk terakhir kalinya dengan mataku sendiri.

Kejadiannya berlangsung cukup cepat. Sekolah kami bertempat di sebuah perempatan jalan utama kota. Ada lampu APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) di setiap ruas jalan. Saat itu, lampunya sedang merah untuk jalan dari depan sekolahku dan jalan di seberangnya. Jadi, seharusnya tidak ada kendaraan yang melintas saat aku menyeberang sambil membidik gambaran sekolah dari tengah zebra cross.

Hal terakhir yang kuingat adalah sebuah mobil kijang yang tiba-tiba datang dari jalan di samping sekolah.

Cara Memberitahu TrinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang