Foto

2 1 0
                                    


Aku sempat kehilangan mereka berdua. Tapi aku mengenali baju merah muda Triny ketika ia berhenti di depan pedagang-pedagang bunga. Triny masuk ke dalam sebuah gerbang besi tinggi. Di dalamnya terdapat tumpukan-tumpukan keramik warna-warni.

Sebentar. Aku tahu tempat ini. Saat itu aku masih kelas 8, Opa dikubur di pemakaman ini.

Aku terus mengikuti warna merah muda dari baju Triny. Ia sempat melempar pandangan ke sekeliling pemakaman, tapi ia tidak menemukan Grace.

"Triny!!" panggilku.

Ia tidak menoleh atau menunjukkan tanda mendengar suaraku sama sekali. Triny terus masuk ke bagian dalam dan bertemu Grace di depan sebuah makam hijau zamrud yang keramiknya masih mengkilap. Sebelumnya makam itu terhalang pohon kamboja dengan batang yang lebar.

Saat aku mendekat aku bisa mendengar isak dari Grace.

"Aku baru lulus SMP waktu mama meninggal," ujarnya, "Benar-benar jengkel dengan adekku sendiri karena dia mengaku lihat mama setiap hari."

Triny tidak memberi jawaban apapun. Ia hanya merangkul Grace, lalu mengambil rangkaian bunga di tangannya dan meletakkannya di atas kuburan yang aku percayai sebagai kuburan dari mamanya.

"Kalau boleh, aku mau sendiri sebentar, Triny," pinta Grace.

Aku kembali membuntuti Triny. Ia masuk jauh lebih dalam ke pemakaman. Seharusnya ini tempat makam-makam baru. Beberapa masih belum diberi keramik.

Makam Opa ada di belakang kami, jauh lebih di depan. Aku sempat melihatnya sebentar. Itu makam yang dihiasi keramik biru donker.

Berbeda dengan makam di mana Triny sekarang berhenti. Itu adalah makam yang dilapisi keramik cokelat muda. Beberapa rangkaian atau tangkai bunga yang layu bertebaran di sekitarnya. Ada juga beberapa boneka yang lusuh karena lumpur dan hujan.

Grace terlihat sedang membersihkan makam mamanya dari daun-daun atau tanaman menjalar. Kami tidak sempat melihat nama di makam itu tadi.
Namun, makam ini masih baru, bersih dan terawat. Aku bisa melihat nama yang tertera di situ dengan jelas, begitupun Triny yang hanya memberinya tatapan sendu.

Di sini terbaring anak, cucu, saudara, teman terkasih:

JOSHUA KURNIA TJAHJA

Lahir : 5 Oktober 2002

Meninggal : 24 Mei 2020

Ingat saat aku bilang aku tidak merasakan sakit apapun saat bangun di ruang serba putih itu? Saat ini semua rasa sakit yang hilang itu muncul secara bersamaan. Tulang rusukku terasa remuk, bahuku seperti barusan ditimpa benda berat yang dijatuhkan dari atas, kakiku mati rasa, aku bisa melihat lututku gemetar dan kepalaku seperti akan segera meledak.

Aku sedang terbaring di tengah jalan. Kameraku masih menyala dan berhasil mengambil foto sekolah. Ini hari kelulusan. Teriakan histeris terdengar di mana-mana. Aspal bergetar karena langkah kaki-kaki yang mendekat ke tubuhku.

Bahkan, aku tidak yakin bahwa aku masih bernapas. Satu-satunya yang masih bekerja mungkin hanya mataku. Menangkap setiap momen-momen terakhir setiap anak kelas 12 sekolahku yang seketika berubah menjadi momen terakhir hidupku sendiri.

Dan di sana juga terbaring tidak sadar di trotoar, Triny. Wajahnya berubah pucat, berbeda dengan sebelumnya dimana seingatku dia tersenyum dan tertawa sambil membawa keliling kaleng cat semprot.

Ia dikelilingi oleh beberapa anak berseragam SMA penuh coretan. Termasuk Grace yang terus menangis sambil terus berusaha menyadarkan Triny dengan menepuk-nepuk pelan pipinya.

Cara Memberitahu TrinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang