Tersenyum

3 0 0
                                    

Saat membuka mata, aku sadar sedang berjongkok di tengah jalan. Buru-buru aku menepi, lupa bahwa aku tidak mungkin meninggal dua kali.

Anak laki-laki tadi tidak muncul lagi. Mungkin dia sedang bersembunyi di dalam selokan atau di dalam rumah seseorang. Aku terlalu sibuk mencarinya sampai tidak sadar kalau aku sedang berada di sebuah jalan yang sangat familiar.

Aku melewati jalan ini setiap hari, untuk berjalan bersama cewek itu. Dia selalu tersenyum setiap kali keluar dari rumahnya.

Sekarang aku ingat! Rumah nomor 11 dengan pagar besi cokelat. Itu rumah Triny.

Apa yang aku pikirkan? Orang tua Triny mungkin akan membawanya jauh dari kota ini setelah aku meninggal. Aku tidak mungkin bertemu dengannya di saat seperti ini. Ngomong-ngomong, sekarang jam berapa sih?

Pintu depan rumah itu terbuka dan seorang anak perempuan berbaju merah muda keluar. Rambutnya digerai seperti biasa. Ia mengenakan tas, celana dan sepatu hitam.

Dia mau kemana?

Triny menyeberangi teras rumahnya dan tiba di balik pagar. Ia mengangkat wajahnya.

Aku tak tahu tubuh pengganti ini punya jantung atau tidak, tapi aku merasa sangat gugup melihat matanya. Apa dia melihatku juga?

"Selamat pagi," sapa Triny.

Aku benar-benar perlu mengecek apakah ada orang di belakangku atau tidak karena Triny sekarang sudah keluar dari pagar dan berjalan lurus ke arahku.

"Kenapa?" tanyanya.

Pertanyaan yang sama. Kenapa dia tidak kaget saat melihatku? Seperti mama.

Tiba-tiba bayangan mama yang ketakutan dan teriakannya terputar lagi di dalam kepalaku.

"Hei, Josh," katanya. Mataku terasa kering. Aku tidak berkedip selama beberapa saat.

"Triny..," balasku.

Ia tersenyum. Dadaku terasa begitu hangat. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum juga.

"Kau baik-baik saja?"

Di saat itu bibirku benar-benar ingin memberitahunya apa yang sebenarnya sudah terjadi. Apa aku baik-baik saja? Tentu tidak. Aku jauh dari baik-baik saja. Aku sudah meninggal. Orang tuaku ketakutan melihatku. Tidak, Triny. Aku tidak baik-baik saja.

"Ya," jawabku, "Kalau kamu?"

Triny memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Itu kebiasaannya kalau sedang menimbang-nimbang jawaban. Aku terkikik setiap kali melihatnya begitu di klub debat bahasa Inggris.

"Seperti biasa," katanya. Ia mulai berjalan.

"Ada apa?" aku mengejarnya.

"Aku tidak menang lomba melukis," tatapannya lurus ke depan, "Lagi. Ini sudah yang ketujuh belas, Josh."

"Dan kamu masih menolak untuk menggambar wajahku?"

Triny tertawa. "Wajahmu itu kurang artistik."

"HAH! Alasan klasik."

Aku benar-benar harus menghantui para juri lomba melukis itu. Apa ada yang salah dengan mata mereka? Lukisan-lukisan Triny selalu membuatku merasa berada di dalamnya.

"Percaya padaku. Lain kali coba lukis wajahku. Kamu pasti menang,"

"Aku gak mau ambil resiko," balasnya, "Aku juga gak mau menghabiskan cat putih cuma buat menggambar senyum lebarmu."

Kami menyusuri jalanan itu dengan terus memperdebatkan alasan kenapa aku perlu atau tidak perlu menjadi objek lukisan Triny di kompetisi selanjutnya.

Cara Memberitahu TrinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang