Hadiah

2 0 0
                                    


Aneh. Aku bahkan tidak merasa sakit. Aku tahu rasanya jatuh dari sepeda atau tangga atau sepeda motor. Tapi, saat aku bangun di sebuah ruangan dengan cat dinding putih mengkilap, aku tidak merasakan apa-apa.

"Selamat pagi."

Leherku berputar begitu cepat dan mataku melihat seorang anak laki-laki yang sepertinya sepantaranku. Dia memakai piyama dengan gambar merpati-merpati kecil dan duduk di sebuah tempat tidur menghadap ke arahku.

"Siapa kamu?" tanyaku.

"Tidak penting, aku ini siapa," jawab anak laki-laki itu, "Yang paling penting adalah kamu menyelesaikan urusanmu di dunia ini."

"Urusan apa?"

"Ya, ampun. Mana kutahu. Kau terlalu banyak bertanya. Mereka bilang kau anak yang tidak banyak tanya," suaranya membesar hingga menggema di dalam ruangan ini.

"Maaf. Aku agak bingung. Sebenarnya apa yang terjadi?" Kini aku baru sadar kulit anak laki-laki ini tampak bercahaya. Dia menghela napas.

"Kau sudah meninggal," katanya.

"APA???"

"Ya Tuhan, ternyata kau setengah tuli juga," ia menaikkan kakinya ke atas tempat tidur, "Apa kau ingat mobil kijang hari itu?"

"Ya."

"Ok, mobil kijang itu menabrakmu. Kau mengalami pendarahan parah di kepala, dan di beberapa daerah lainnya. Kau langsung dibawa ke rumah sakit," anak itu mendekatkan wajahnya yang benar-benar seperti terbuat dari mutiara.

"Apa orang tuaku sempat bertemu denganku?"

"Hanya ibumu," jawabnya, pertama kali aku melihat rona prihatin di wajahnya.

"Apa aku sempat bilang sesuatu?"

"Kau tidak sadar sejak kau ditabrak, sampai dua jam kemudian. Kau meninggal sore itu," suaranya sama datarnya dengan suara siaran TV dalam film The Purge.

Leherku mengering. Aku membuka mulut, tapi mencoba mengeluarkan satu suku kata pun sangat sulit. Perutku seperti ditekan dan aku rasanya ingin muntah. Mataku memanas.

Tapi tidak ada air mata yang keluar.

"Kenapa aku tidak bisa menangis?"

"Kau kandidat yang sangat kuat untuk ke surga," jawabnya enteng.

Selama beberapa saat aku hanya bisa melongo.

"Su...surga?" tanyaku.

"Ya. Tempat dimana tidak ada air mata dan kesedihan," ia tersenyum sampai semua gigi depannya kelihatan, "Tapi, menurut mereka, kau masih terlalu sedih untuk ke sana. Itu artinya masih ada hal yang harus kau lakukan di dunia ini."

Dunia ini? Aku bahkan tidak tahu aku ada di mana.

"Apa ini rumah sakit?"

Ia melompat dari atas kasurnya. Anehnya dia memiliki tinggi yang sama denganku. "Ini bisa jadi tempat apapun yang kau mau."

Tempat apapun. Aku benar-benar ingin pulang. Aku ingin melihat mama dan papa.

Anak itu membuka pintu putih di depan tempat tidur kami. Di balik daun pintu itu, muncul sebuah ruangan yang aku kenali. Lemari-lemari kayunya, foto-foto yang tergantung di dinding, suara motor yang gampang terdengar dari jalanan di depannya, pengharum ruangan lemonnya. Ini rumahku.

Aku segera turun dari tempat tidur dan berlari keluar.

"Hei, katamu aku sudah meninggal, 'kan? Kenapa kakiku masih bisa menapak? "

"Kau benar-benar percaya dengan semua film itu, ya?" Dia masih berdiri di dalam ruang putih itu, "Tubuh yang kau punya ini adalah tubuh sementara. Kau tidak perlu berjalan jauh untuk bisa pergi ke suatu tempat. Kau bisa muncul tiba-tiba di tengah keramaian. Kau bisa juga tiba-tiba menemani seseorang berjalan."

"Apa itu berarti aku bisa dilihat orang lain?" Jika ya, aku lebih memilih untuk tetap seperti ini.

"Pelan-pelan. Hanya satu hari dan hanya kepada beberapa orang," jawab si anak laki-laki.

"Berapa lama aku sudah meninggal?"

"Termasuk hari ini? Enam hari. Sebaiknya kau selesaikan dengan cepat. Kami beristirahat di hari ketujuh."

Waktuku sangat terbatas. Mustahil aku berpamitan kepada mama, papa dan semua teman-temanku dalam satu hari. Bahkan dengan kekuatan yang tadi dia sebutkan. Aku tahu pada akhirnya akan hanya ada sedikit orang yang bisa kutemui.

"Ok, aku ingin berpamitan dengan orang tuaku," kataku.

"Pilihan paling umum. Silahkan," tangannya menunjuk ke belakangku dan di sana ada Mama.

Dia duduk di lantai menghadap ke pintu yang mengarah ke halaman samping rumah kami. Tangannya memeluk lututnya yang ditekuk ke dada.

Aku tidak boleh membuat mama kaget. Aku mau dia tersenyum saat melihatku.

Tiba-tiba suara siraman air terdengar bagian lain di dalam rumah, diikuti suara seorang laki-laki yang membersihkan kerongkongannya. Itu Papa.

Tapi aku tidak menyadari kalau di saat yang sama Mama juga berbalik mencari sumber suara itu. Tentu ia terkesiap melihatku berdiri di tengah ruang tamu dalam keadaan masih mengenakan pakaian seragam SMA.

Mulut Mama menganga, sementara seluruh tubuhnya bergetar. Aku berusaha mendekat saat aku merasa ia akan segera menangis.

Tapi Mama berteriak sangat kencang. Ia menarik tubuhnya sendiri menjauh dariku. Ia bahkan menutup matanya.

"Pergi!! Pergi dari sini!! Josh sudah meninggal!! Pergi!!"

Dari dalam kamar mandi, aku melihat Papa berlari dan ia segera memeluk mama. Air mata mengalir di pipi mereka berdua.

"Mama lihat Josh, Pa. Josh ada di sini tadi. Dia pakai seragamnya," tangis mamaku benar-benar membuat telingaku seperti sedang ditusuk dengan jarum. Aku benci diriku sendiri karena bahkan aku tidak bisa menangis di saat orang tuaku menangis.

"Bawa aku pergi dari sini!!" pintaku.

Cara Memberitahu TrinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang