Di sebuah lorong rumah sakit, semua orang sibuk memikirkan nasib Regar. Lelaki itu kini tengah menjalani perawatan intensif hampir satu jam berlalu namun dokter yang menanganinya tak kunjung keluar juga. Indira sedari tadi hanya berdiri barisan yang paling ujung. Sembari menggigiti kuku-kukunya.
"Gara-gara kamu 'kan Ra? Kamu itu ya Ra..Ya Allah Ra-Ra. Bagaimana jika Regar kenapa-kenapa? Apa yang akan kamu pertanggung jawabkan?" tanya Mama dengan nada emosi namun tidak berani membentak. Mereka sadar jika kini sedang berada di tempat umum.Memang sedari tadi, Indira menjadi sasaran kemarahan keluarganya. Ia sangat ketakutan juga, namun semua orang seakan tidak melihat kondisi psikisnya yang juga terguncang. Ya meskipun secara fisik ia tak mendapat luka apapun karena Regar memeluknya tadi ketika insiden terjadi.
"....." Indira hanya menunduk. Tak berani menjawab dan masih menggigiti kuku-kukunya. Pikirannya cemas pula memikirkan Regar. Ia yang awalnya tidak menyalahkan dirinya sendiri, kini pun harus menyadari. Bahwasannya memang ini semua salahnya.
Tuan Rajasa mendekat pada istrinya. Diusapnya bahu Nyonya Rajasa, "sudahlah Ma. Jangan salahkan Indira. Toh ini juga Insiden."
Pria paruh baya yang menjadi ayah Indira sekaligus pemimpin di keluarga Rajasa itu merupakan orang yang santai namun serius. Bijak namun tetap tegas ketika menyikapi suatu hal. Intinya, pria itu tahu menempatkan dirinya sebagaimana mestinya.
Indira mengangkat wajahnya. Lalu berkata, "benar kata Mama, Pa.."
"...ini salah Indira. Kalau saja Indira tidak mengganggu Om Regar ketika menyetir. Pasti beliau tidak akan mengalami insiden nahas ini," lanjutnya. Mencoba menahan isakan tangis yang hendak pecah, serta menepis kenangan buruknya tentang insiden yang begitu cepat berlalu itu. Indira sekali lagi mencoba untuk tabah. Ia memang harus berbesar hati untuk mengakui kesalahannya.
Usai menjelaskan hal yang patut diacungi jempol. Sang mama justru tersulut emosinya. Itu semua terlihat ketika Indira mencuri pandang menatap wajah mamanya yang berubah memerah.
"Ikut Mama." Nada dingin yang sarat akan perintah itu membuat Indira bergidik ngeri. Ini kali pertamanya seumur hidup diperlakukan sedemikian tegas oleh mamanya. Terakhir kali ia mendapat pukulan setelah mendengar nada seperti itu. Itu kejadian lampau. Tatkala ia membolos sekolah semasa duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Mama menyeret Indira dengan kasar. Sesampainya di taman, wanita itu menghempaskan paksa tangan Indira. Indira sempat mengaduh, dan memeriksa pergelangan tangannya yang ternyata memerah.
"Mama nggak habis pikir sama kamu Ra. Mama pikir, kamu akan bersikap manis pada Regar. Ra? Asal kamu tahu ya.."
"..Regar sudah menerima tawaran Papahmu untuk menikahimu."
Kedua mata Indira sontak membulat tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Benarkah!? Menikah? Lelucon apalagi ini..
"M-maa? Ini bohongan 'kan?"
Mama menatap tajam dan dalam kedua bola mata sayu Indira, "tidak. Mama serius. Asal kamu tahu, sebelum makan malam kemarin. Mama, Papah, Regar dan putrinya sudah sempat makan bersama di sebuah restoran. Kami awalnya hanya bercanda membicarakan calon pendamping Regar, mengingat Paula juga akan bertumbuh menjadi gadis dan pastinya membutuhkan bimbingan seorang ibu. Mama ingat, jika Mama memiliki putri semata wayang yang baik dan penurut. Manis sekali.. Mama bahkan telah membayangkan betapa ramainya rumah kita nanti jika kamu menikah dengan Regar."
"Ma..."
"Diam. Dengarkan! Tapi apa yang Mama dapati kini. Mama menyesal pernah memuji-muji kebaikanmu di depan Regar. Mau ditaruh mana muka Mama ini Ra!? Katakan sekarang apa maumu? Kamu sudah puas karena membuat Regar hampir saja merenggut nyawa? Bahkan di depan matamu? Kamu senang Paula hidup sebatang kara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mom Accepted [Completed]
Romance(Baca di INNOVEL/DREAME) Ini kisah si famous, Indira Pradita Rajasa. Anak kedua dari keluarga Rajasa dalam menaklukkan hati Paula. Ketika Paula berhasil ditaklukkan oleh Indira hingga jatuh-bangun, berbagai masalah justru muncul dari hubungannya de...