Retisalya

16 1 0
                                    

Rumah. Digambarkan dengan makna bahwa benda itu adalah tempat yang nyaman. Di dalamnya terselip sebuah kata 'keluarga'. Bagi sebagian orang, keluarga menjadi rumah di dalam rumah itu sendiri. Penuh dengan kebahagiaan, kasih sayang, dan cinta. Apa-apa saja yang memaknainya terlihat begitu baik. Sayangnya tidak berlaku untuk semuanya. Jika ada bagian dari bahagia, maka ada pula bagian dari kesedihan. Itu hukumnya. Di sisi lain, ada yang menyebut rumah sebagai neraka. Sebab apapun yang berhubungan dengan hal itu menimbulkan luka-luka yang tak pernah terlihat dengan jelas. Air mata tampaknya menjadi teman yang paling setia dan menjadi hal terbaik untuk meluapkan semua kepedihan dan kesedihan itu. Mendengar teriakan-teriakan dari balik pintu rasanya menjadi musik yang terputar tanpa sengaja. Membuat tidur tak pernah mengenal kata nyenyak. Kala ujaran kebencian menjadi pengiring setiap kali masuk ke dalam rumah, seseorang harusnya sudah tahu bahwa bagian baru untuk hari itu baru saja dimulai. Bukan suasana yang nyaman yang ketika masuk ke dalam rumah disambut dengan pelukan hangat dan tawa bahagia. Bukan itu.

Dua manusia yang sama-sama menekan egonya sendiri-sendiri hingga tak pernah ada lagi ucapan sayang sedang saling berdebat. Memperdebatkan hal yang tidak mudah dimengerti untuk anak usia 9 tahun. Cacian demi cacian semakin keras memenuhi ruang tengah seakan tak ada tanda-tanda akan berhenti atau segera diakhiri. Seorang anak duduk di atas kasur sambil menutup telinganya. Mencoba untuk tidak mendengar apa yang tidak seharusnya ia dengar. Tapi udara membawa suara itu tetap masuk melewati celah-celah jarinya. Dalam hati dia ikut menjerit. Merapalkan doa atau nyanyian apa saja untuk sekadar mengalihkan perhatiannya. Tidak berapa lama suara itu menghilang entah ke mana. Tak ada lagi suara teriakan yang menggelegar sampai membuatnya ingin menghilang. Tidak ada. Suasana tiba-tiba sepi senyap. Anak itu membuka pintu. Dilihatnya seseorang tengah duduk di kursi tamu sambil terisak. Tangisan yang sangat ia ketahui milik siapa.

"Ma?"

Perempuan yang dipanggil tidak menjawab dan semakin menyembunyikan wajahnya di telapak tangannya. Anak itu mendekat dan menyentuh pundak ibunya membuat suara tangisan menjadi semakin kencang. Dia amat sadar ada yang tidak beres. Biasanya saat dia mendekati ibunya yang sedang menangis, pelukan hangat akan ia dapatkan dan tangisan itu perlahan berhenti. Namun tidak untuk kali ini. Ibunya menangis semakin kencang dengan bahu yang bergetar hebat, membuatnya yakin benar-benar ada sesuatu yang salah.

Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Musim hujan sudah datang namun ayahnya tak pernah pulang. Ibu anak itu tak pernah menjelaskan apapun. Dia hanya diam dan terkadang mengalihkan pembicaraan saat anak itu bertanya mengenai keberadaan ayahnya. Sebenarnya dia sadar jika ayahnya telah pergi. Hanya saja ia selalu mengabaikan pikiran-pikiran yang mengusiknya. Tidak luput dari pengamatan anak itu yang melihat Ibunya sering pergi keluar dengan laki-laki lain, yang ia sendiri memastikan laki-laki itu bukanlah ayahnya. Keadaan menjadi semakin buruk saat suatu hari Ibunya memberikannya sejumlah uang yang entah untuk apa. Setelahnya, Ibunya juga pergi dan tak pernah kembali.

Hujan semakin deras di luar. Seorang anak yang tumbuh tanpa cinta dari kedua orang tuanya sedang mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya. Ia menghela napas. Tangannya mengambil botol berwarna hijau gelap kemudian meminumnya. Pikirannya memutar kembali kejadian-kejadian yang sudah dia alami selama ini. Pukulan dan cacian dari seorang ayah -yang entah layak dipanggil seperti itu atau tidak-telah mengisi memori tentang masa kecilnya. Kemudian dilanjutkan dengan perceraian oleh kedua orang tuanya, ibunya yang menikah dengan orang lain hingga menelantarkan anaknya sendiri, membuatnya menjadi pribadi yang nyaris tak pernah tersentuh cinta. Kata itu saja nampak asing, apalagi merasakannya.

"Ji, udah! Daritadi kamu udah minum banyak banget"

Tyo-teman Aji-mengambil botol dari genggaman Aji. Dia paham betul bahwa temannya pasti sedang memikirkan masa lalunya. Tidak banyak yang ia ketahui, namun sedikit cerita yang dulu pernah Aji bicarakan cukup untuk membuatnya mengerti bahwa laki-laki di depannya ini tidak pernah merasa baik-baik saja. Bahkan pertama kali dia bertemu dengan Aji saat laki-laki itu hampir mati karena menyayat bagian-bagian tubuhnya. Luka di lengannya yang pernah ia gores lumayan parah bahkan masih membekas hingga saat ini.

RETISALYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang