Malaikat yang Jahat

7 1 0
                                    

Gina menghapus air matanya. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang sudah berantakan setelah menangis semalaman. Saat ini dia sedang sendirian di kamar kos-kosannya. Tadi malam tiba-tiba Gina dihantui oleh masa lalu yang membuatnya merasa sangat sakit hati. Membuat luka yang lebar dan dalam, membuat kebahagiaan yang selama 13 tahun itu hancur berkeping-keping. Keluarganya yang selama ini sangat ia banggakan menjadi hal yang paling tak ingin ia bahas. Membiarkan semuanya tak sepenuhnya membuatnya menghilang. Tak terpendam, tak juga mereda. Malah yang ada membuatnya semakin bisa mengingat kesakitan-kesakitan itu semakin jelas.

Perempuan berambut pendek sebahu itu membuka ponselnya. Ia membaca semua pesan yang masuk, yang rata-rata dari grup kerja dan grup kuliahnya. Luka yang dulu pernah ia rasakan membuatnya bisa berdiri sendiri dan menjadi orang yang terbiasa untuk tidak mengandalkan siapapun. Karena kenyataannya yang bisa menolong kita adalah diri kita sendiri.

Manik mata Gina menangkap sebuah pesan dari orang yang dulu sangat ia cintai, namun dialah yang paling menyakitinya.

Uangnya sudah ayah transfer

Bibirnya menyunggingkan senyum meremehkan. Tidak habis pikir mengapa orang ini tetap saja memberinya sesuatu yang tidak dia inginkan. Gina tak lagi butuh itu. Dia sudah hampir mati rasa.

Akan saya kembalikan. Lebih baik uangnya untuk istri dan anak-anak anda saja. Mereka lebih membutuhkan anda dan uang anda daripada saya.

Send

Gina menutup pesan itu dan melempar ponselnya ke kasur. Tangannya memijit keningnya. Dia sungguh malas berurusan dengan orang itu lagi. Ke mana saja dia saat istrinya sakit? Dia hanya tahu caranya bersenang-senang dengan wanita lain, menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan yang hanya sementara. Gina tahu dia selalu membelikan wanita-wanita tak tahu malu itu barang-barang mahal. Pulang ke rumah dengan pakaian yang beraroma parfum perempuan.

"Muka kamu udah kayak pantat ayam. Kelipet, anyep banget, ngga enak dilihat"

Gina hanya diam tak menanggapi ucapan Fabian. Gadis itu merasa terlalu malas sendirian. Setelah mendapatkan pesan dari ayahnya, dia memutuskan untuk mengajak Fabian, teman masa kecilnya, untuk pergi keluar. Hanya sekadar jalan-jalan atau makan pecel lele di pinggir jalan. Namun saat dia menemui laki-laki itu, mood-nya malah semakin hancur.

"Mending kamu diam atau pulang aja deh sana"

Fabian tertawa kecil. "Tadi kamu yang ngajakin aku. Sekarang kenapa jadi ngusir. Enak aja!"

Laki-laki berkacamata itu melahap makanan di depannya kemudian sesekali menyeka keringat di dahinya.

"Shhh, pedes banget, Gin. Kayaknya mood yang jualan juga lagi ngga bagus, deh"

Fabian membuka mulutnya sambil mengibas-ibaskan tangannya, kepedasan sekaligus kepanasan.

"Laki-laki tuh kenapa keras kepala banget, sih? Udah berkali-kali aku bilang buat berhenti ngirim aku uang, tapi masih tetep aja dikirimin" Gina mendengus sebal lalu kemudian menyedot es teh yang ia pesan.

"Dia masih perhatian sama kamu, Gin. Dia mau tanggung jawab"

Gina mendelik ke arah Fabian, membuat laki-laki itu menunduk takut. Sungguh, tatapan Gina saat sedang marah adalah sesuatu yang benar-benar menyeramkan. Jangan pernah mencoba berurusan dengan perempuan ini.

"Terus ke mana aja dia dulu waktu ibu sakit? Bahkan waktu meninggal pun dia nggak datang, Fa! Kamu sendiri tau itu"

Fabian menjilat sisa-sisa makanan yang ada di jarinya. Mencuci tangannya pada air kobokan yang ada di samping piringnya, lalu menatap Gina dengan hati-hati. Laki-laki itu tahu, perempuan di depannya ini sebenarnya memiliki perasaan yang rapuh. Dia juga mengerti bahwa dalam lubuk hati yang paling dalam, Gina masih menyayangi ayahnya.

RETISALYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang