PART 3

18 3 0
                                    

Aku terbangun dengan napas yang masih terengah-engah, dingin yang begitu menggigil, aku merasa sama sekali tidak menggunakan pakaian, hanya satu helai kain berwarna putih, terlihat lusuh, kotor bahkan aku merasa ini adalah akhir dari kehidupan di dunia.

Perlahan aku bangun dari sebuah tumpukan tanah dan ini tempat asing sama sekali tidak aku kenali. Aku memandang sebuah nisan berjajar dihadapanku, seperti nisan yang usang, sudah berpuluh-puluh tahun tidak terawat, namanya pun sudah hilang termakan zaman, bahkan lembap yang membuat sekitarnya menjadi berjamur. Ini yang sering Ayah katakan.

"Jangan pernah mengikuti jejak, Ayah!" Katanya.

Meski pun aku bisa melihat 'mereka', tapi bukan berarti jejak Ayah aku ikuti. Karena bukan tidak mungkin, aku tidak sekuat Ayah untuk menghadapi kemungkinan terburuk, seperti saat ini aku menderita, kesepian dan sendirian.

Keturunan Ayah memang rata-rata seperti aku, mampu memandang cakrawala diluar dugaan, melihat yang tiada seakan ada, memandang 'mereka' seperti nyata berlalu-lalang dihadapanku layaknya manusia biasa. Hanya saja, 'mereka' begitu menyeramkan, tubuh yang penuh darah basah mau pun darah yang sudah mengering termakan usia. Belum lagi, wajah hancur sama sekali tidak berbentuk, mata memerah bahkan ada juga yang hijau tajam, mata pecah dan meneteskan darah segar tidak pernah menghilang.

Pernah berkali-kali Ibu menolong aku untuk menutup mata batin yang sangat mengganggu selama hidup aku, belum lagi bisa melihat masa depan yang menakutkan. Terakhir kali, aku pernah pergi ke Rumah Sakit untuk menjenguk salah satu sahabat yang menderita penyakit ginjal kronis. Tidak lama berbincang-bincang, tiba-tiba melihat bayangan putih keluar dari tubuh sahabatku, seperti kabut tapi bukan, seperti asap hanya saja berbentuk manusia utuh. Entahlah, hanya saja satu hari kemudian aku mendapatkan kabar bahwa ia telah meninggal dunia.

Jujur, aku sedih dan ingin menutup mata batin bukan karena aku lelah setiap jalan kemana pun 'mereka' hadir. Hanya saja, aku tidak ingin kejadian dulu terulang kembali, mungkin jika tahu ia akan meninggal dunia, aku akan segera memanggil dokter dan memberikan pertolongan lebih, apa pun itu pasti aku ingin menolong seseorang yang akan tiada. Tapi, segala yang telah aku lalui rata-rata tidak bisa menolong mereka, kemudian aku menyesal dan begitu stres berkepanjangan.

"Gagal!"

Berkali-kali mendengar kata gagal terucap dari Nenekku. Katanya, semua kelebihan yang ada di tubuh aku ini tidak bisa dilenyapkan. Karena ini bukan kutukan, melainkan turunan dari dulu sudah ada di keluarga ini. Aku harus bersyukur katanya, hanya saja aku tidak pernah merasa ini kebahagiaan, rasanya ketika semua tidak bisa dikendalikan aku ingin seperti 'mereka' saja, hilang dan bunuh diri itu yang kerap kali aku pikirkan saat terlemah yang aku rasakan.

***

Didalam keheningan, gelap abadi mengikat tubuhku. Aku mendengar suara seseorang memanggil namaku dengan datar dan, aku mengenalnya.

"Agatha, bangun woyy!"

Aku mengenal suara itu di tengah kuburan dan rimba, aku tidak berpikir dengan jernih, karena semakin lama gelap sangat menyakiti tubuh ini, sesak rasanya tidak terbendung lagi.

"Ibu, aku ingin pergi dari sini ... tolong!"

Suara Agatha melemah dan pasrah, karena berjalan pun ia sama sekali tidak bisa melihat cahaya walau hanya satu titik saja. Aku mengenal suara itu, hanya aku panik dan seolah ingin tertidur. Ketika bangun, ternyata ini hanya mimpi. Sayangnya, ini benar-benar nyata dan aku berada ditempat yang fana.

***

Kilat yang menyambar salah satu pohon di pojok kuburan sebelah kiri, ini saatnya aku terbangun dan berjalan kemana pun aku inginkan. Sepertinya ini pagi di dunia lain, karena cahaya langit semakin lama semakin terang. Tetap saja di tengah hutan belantara, pohon-pohon tinggi menjulang bagaikan tonggak-tonggak raksasa, tanah yang berbau lembap. Ini menakutkan, padahal terang sudah datang, hilang segala kegelapan.

Berjalan perlahan, terpapah dan dibantu oleh ranting yang aku gunakan sebagai penopang tubuh yang lemah. Mendadak aku mendengar suara jeritan dari arah depan dekat jurang, aku berharap ia penolongku saat aku benar-benar sudah menyerah entah apalagi yang akan aku perjuangkan disini, mungkin aku akan membusuk menjadi mayat yang bau dan belatung dimana-dimana.

"Ada orang disana?"

Hanya suara aku yang menggema di setiap sudut rimba. Sekali lagi, suara rintihan itu semakin dekat, jelas di telingaku. Rintihan yang terdengar seperti kesakitan. Pada akhirnya aku melihat ke dasar jurang, ada satu manusia atau entahlah, mungkin itu sosok penunggu disini. Ia duduk memeluk lutut dengan rambut yang terurai panjang juga gimbal. Kuhampiri dengan penuh kehati-hatian, mencoba mendekat meski pun tubuh bergetar sangat hebat, karena rasanya energi sosok ini adalah energi negatif.

Tiba-tiba saja ia menghadang sangat kencang! Terbang dan menarik semua energiku, ia menghantam badanku. Wajahnya tepat berada dihadapanku, wajahnya buruk rupa, bagian mata yang penuh dengan belatung, mulut yang melebar seolah akan membunuhku. Hilang kendali, seperti mengingat sesuatu yang pernah aku alami. Sosok yang pernah aku lihat di dunia nyata. Tangan yang panjang, jari-jari bagaikan akar tua, mencekik leherku hingga hilang setengah napas.

"Si-Siapa kamu?" tanya Agatha dengan panik.

Pada akhirnya aku mengingat semuanya. Ia adalah nenek-nenek tua renta yang aku temui di tengah jalan saat perjalanan menuju tempat kerja Anta. Kemungkinan masih ada kaitannya dengan segala kejadian sebelum ini. Sosok itu menghilang ketika aku mencoba menghadang balik, semua teka-teki yang terjadi adalah bukan sebuah kebetulan saja. Semuanya saling berkaitan dan pertanyaan dari segala tanda tanyaku mungkin perlahan akan terjawab pada waktunya.

Ini tentang Ayah yang bertingkah aneh semenjak pindah rumah ke tempat yang baru dan selalu membawa makhluk lain selain manusia ke dalam rumah, ia menyimpan rahasianya di dalam kamar yang gelap sama sekali tidak pernah digunakan, bahkan aku hanya satu kali saja pernah masuk ke kamarnya. Itu pun hanya sebentar karena dihadang Ayah.

Aku berharap ada suara lagi selain aku dan angin, agar aku bisa mengikuti suara tadi malam yang memanggil nama aku. sayangnya, itu terjadi hanya satu kali saja.

"Kenapa aku tidak bisa mengingat dengan jelas suara yang aku kenal itu?" bisik Agatha sambil memandang hutan belantara.

"Cukup!" Gerutu Agatha.

Hari ini aku akan menjadi seseorang paling bodoh di bumi ini, menyesal telah menyanyikan mantra yang sering Ayah melodikan. Aku memang suka sekali menantang segala yang aku inginkan. Tapi, bukan seperti ini, aku menghilang dan terbuang. Anehnya, semakin siang semakin ramai saja di tempat tempat asing ini, seperti pasar gaib yang pernah aku temui saat mendaki gunung dulu.

Erangan makhluk tinggi besar mencoba menghantam Agatha. Siapa lagi sosok ini?

DARAH BASAH [SUDAH TERBIT] 👹Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang