PART 6

7 1 0
                                    

Misteri Masa Lalu

Jangan pernah bercanda berlebihan, katanya. Padahal jelas-jelas aku melihat bayangan putih sejak mobil masih sedikit jauh. Ketika sudah dekat, aku melihat sosok pocong tergeletak di tengah jalan, badannya bukan seperti manusia normal. Tapi, sosok itu sangat kurus dan tinggi, hingga menutupi dan menghalangi jalan sepi. Dengan rasa penasaran, Anta mencoba turun dari mobil untuk sekadar memastikan bahwa itu adalah polisi tidur. Bukan pocong atau sejenisnya.

Sebenarnya aku tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan lagi apa yang selalu aku lihat di sekitar. Tanpa harus orang lain percaya, aku sudah lama sengsara. Anta memang banyak tahu tentang aku dan dunia lain yang kerap kali selalu menghantui. Hanya saja kali ini, ia sedang ingin membuktikan sendiri, bahwa itu memang tiada bukan sebuah jalan berbatu atau polisi tidur, itu adalah makhluk astral.

Dudukku di dalam mobil bagian depan, sedangkan Anta diluar sedang membungkuk seperti orang kebingungan mencari sesuatu.

“Nggak ada loh, Tha!” Anta berteriak sambil memanggilku dengan panik.

Aku dan dingin juga angin malam masih saja tenang menghadapinya, karena aku sudah tahu bahwa itu pocong yang kotor dengan tanah merah yang berceceran di beberapa titik tengah jalan. Anta ... Anta! Memang dia itu tidak akan langsung percaya dengan orang, sebelum bukti itu nyata di depan mata.

Aku, Anta dan mobil kembali meneruskan perjalanan pulang, karena hari semakin malam dan kelam. Sebenarnya bisa saja kita sampai rumah masih siang. Tapi, aku dan Anta pergi makan dan jalan-jalan sebentar untuk menghibur aku. pada akhirnya gelap dan malam yang menemani kita berdua. Jalan berkelok-kelok, diapit tebing di kanan dan kiri jalan, sebuah perkebunan sepi dan hutan di beberapa titik menemani sunyi yang kian menggelitik.

Daerah Citatah terkenal dengan sepi ketika gelap kian mencekam. Jika siang hari akan terlihat indah dan memesona mata juga pandangan. Napas akan melega dengan rimba di beberapa titik. Hanya saja, banyak penambang kapur yang nyaris menggerus tebing yang menjulang, sehingga jalan terlihat begitu gersang, indah terhalang putihnya kapur yang bertaburan dimana-mana, hingga napas tidak puas karena polusi yang tidak sehat.

Aku kembali memulai percakapan dengan Anta. Karena, aku lupa niat awal bahwa aku pergi ke Bandung untuk bercerita pada Anta tentang aku, Ayah dan sebuah rumah baru.

“Kamu harus tahu ... Anta!”

Rumah lama yang sejak kecil aku dan keluarga tempati, padahal sangat tentram dan damai. Tidak ada sedikit pun gelagat aneh dari rumah lama, ayah atau pun ibu, termasuk aku. tiba-tiba saja ayah mengatakan, kita harus pindah rumah dengan segera tanpa basa-basi atau sekadar bertanya tentang persetujuan untuk pindah rumah. Dengan sangat tergesa-gesa, akhirnya pindah rumah tepat di malam Jumat. Aku dan ibu tidak pernah tahu tentang rumah ini, kapan dan seperti apa ayah membelinya?

Aku bercerita pada Anta, karena ia adalah satu-satunya sahabat yang mungkin bisa aku andalkan. Kurang dari satu minggu, keanehan mulai membelengguku. Ketika aku membereskan barang-barang dan akan aku simpan di kamar kosong belakang dekat dapur, mendadak ayah menghadangku dan berkata, aku dan ibu tidak boleh sedikit pun masuk ke kamar ini tanpa persetujuan ayah!
“Ini aneh, Ta!” Suara Agatha melemah dan sedikit kalut.
“Terus setelah itu, ada kejadian lagi nggak, Tha?” tanya Anta dengan penasaran.

Lebih parah dari yang aku duga. Hampir setiap malam Jumat aku mencium bau anyir di beberapa sudut rumah, dan aku pernah melihat Ayah sedang membakar dupa di depan kamar kosong itu. Mungkin, jika orang awam akan menyebutnya itu bau asap dari dupa. Tapi, itu bukan bau dupa, itu bau darah yang sering aku rasakan hampir setiap malam Jumat.

Aku memang belum pernah mengajak Anta untuk main ke rumah baruku, karena kesibukan di kantor yang lumayan padat, membuat aku dan Anta hanya bertemu di kantor saja, jika pun keluar hanya untuk makan siang paling lama setengah jam. Tentang suara anak ayam hampir setiap tengah malam, keanehan demi keanehan tergambar jelas hingga terbawa ke Bandung saat aku menyanyikan sebuah mantra yang kudengar dari ayah.

Memohon pada Anta memang sedikit gengsi, padahal aku sangat memerlukan pertolongan Anta untuk menemaniku memecahkan misteri ini. Aku tidak ingin keluarga menjadi korban bulan-bulanan ‘mereka’. Jika didiamkan saja akan ada bencana yang kerap kali mengganggu seisi rumah. Tapi, apa daya, aku tetap mengatakan pada Anta kalau aku sangat membutuhkan bantuannya, karena jika hanya sendirian, takut energiku habis sehingga tidak ada yang menolongku selain kematian!

“Harusnya lu tau, Tha. Orang lu bisa liat masa depan ... hahaha” ejek Anta dengan wajah sumringah.

Aku memang bisa melihat masa depan, tapi hanya sebatas kematian. Apalagi aku tidak mampu melihat masa lalu, tentang rumah baru atau misteri yang selama ini menerorku. Sekadar tahu tentang ‘mereka’ di rumah itu pun, aku tidak pernah diizinkan untuk berkomunikasi dengan sosok yang ada disana. Diganggu iya ... hanya sebatas suara-suara aneh, penuh lirih dan menyedihkan, itu saja yang aku ingat dan rasakan selama ini.

***
Mobil terparkir tepat di depan rumah tua yang sekarang telah ditempati Agatha dan keluarga. Aku meminta Anta untuk mampir sebentar hanya sekadar melihat rumah dan kamar yang telah aku ceritakan tadi. Anta mengiyakan dengan syarat ia tidak ingin menanggung risiko terlalu jauh, karena ini melibatkan permasalahan dikeluargaku, katanya.

Dengan sedikit mengendap-endap, aku dan Anta masuk ke rumah lewat pintu samping yang jarang dikunci. Aku rasa, ibu dan ayah sudah lama tidur. Lampu ruang tengah sudah dimatikan, hanya gelap dan remang-remang lampu luar saja yang menemani aku dan Anta.

Tiba-tiba Anta berteriak histeris karena mendapati bangkai burung gagak hitam tergeletak di lantai.

“Hihihi!”
“Hmm!” Jawab Anta.
“Hihihi ... !
“Hmm!” Jawab Anta sekali lagi.
“Apa sih, Tha? Hah hih hah hih, kesurupan lu!” Tegas Anta yang kesal dengan jailnya Agatha.

Dengan rasa percaya diri, Anta menengok ke belakang untuk menanyakan pada Agatha, kenapa ia begitu bawel dengan suara cekikikan yang membuat bulu kudukku berdiri dan merinding. Tiba-tiba, dilihatnya Agatha tidak ada di tempat. Padahal, Anta merasa aku berada di belakangnya dan cekikikan dengan suara datar begitu memilukan. Lantas, tadi itu suara siapa? Tanya Anta pada dirinya sendiri.

“Kreeeekkkkkk ... sreeekkkkkk!” Suara goresan kuku.

Tanpa pikir panjang Anta berlari sampai terbirit-birit, tidak melihat kanan dan kiri, bahkan guci yang terpampang di tengah ruangan pun ia tabrak dengan sangat kencang. Sehingga, bagian pelipis dekat matanya berdarah dan lebam menghantam ujung guci yang sangat tinggi.

“Tolonggg ... “ Suara Agatha terdengar jauh disana.

DARAH BASAH [SUDAH TERBIT] 👹Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang